tulisan bg stone

|| || || Leave a komentar
Senangnya di Malimpa






Oleh
Ahyar ‘Stone’ Hudoyo, SE.
Ketua Umum Malimpa
Periode 1992/1993












Didedikasikan kepada,
Anggota Malimpa,
keajaiban dunia yang kedelapan.























Daftar Isi
Salam Rimba, Hal.5
Bagian Pertama
Peristiwa Tak Terduga.
Pra dan Diklatsar. Hal. 7
Makna Lain Kemenangan. Hal. 10
Peristiwa Tak Terduga. Hal. 16

Bagian Kedua
Ketakutan yang Sirna
Warisan Turun Temurun. Hal. 18
Dasawarsa Malimpa. Hal. 21
Mencari Pengalaman. Hal. 22
Ketakutan yang Sirna. Hal. 27
Ekspedisi Pantai Utara. Hal. 33
Diklatsar Model Baru. Hal. 35

Bagian Ketiga
Mental Juara
Menuntaskan Gunung Jawa Tengah. Hal. 38
Rekor Baru Hal. 40
Akrab Penuh Hormat Hal. 40
Mental Juara hal. 44
Surat Wasiat Hal. 46

Bagian Keempat
Bu Guru TK
Bu Guru TK. Hal. 48
Pak Kapten Rakit. Hal. 50
Penuh Warna. Hal. 57
Mewujudkan Mimpi. Hal. 59
Bagian Kelima
Ready For Use
Posko Baru. Hal. Hal 64
Reuni yang Bersahaja Hal. 66
Jalur 13 Hal. 67
Ready For Use Hal. 70
Mimpi yang Tertunda Hal 74

Bagian Keenam
Cartentz Pyramid
Operasi Eidelweiss Hal. 76
Rinjani, Agung dan Gede Hal. 77
Cartentz Pyramid Hal. 80
Mustokoweni Hal. 81

Bagian Ketujuh
Next Generation
Workshop. Hal 83
Meriahnya Tumpengan. Hal 83
Next Generation. Hal. 85

Bagian Kedelapan
Pungkas Cerita
Senang di Malimpa. Hal 87







Salam Rimba

Jika hidup disederhanakan hanyalah sebatas memutuskan pilihan, aku perlu bersyukur, karena sejak masuk UM.S. Aku telah memilih bergabung ke Malimpa. Keputusan sederhana ini, dulunya mati-matian kuanggap benar. Namun setelah bertahun-tahun menamatkan studi managementku, barulah aku sadar, ternyata pilihan itu memang benar.
Aku layak pula bersyukur, karena totalitasku selama bertahun-tahun di Malimpa, bahkan membuatku meninggalkan UMS. “Masih dalam keadaan Malimpa”, telah menempatkanku pada posisi yang bagus, sehingga membuatku dapat menyaksikan ketika Malimpa yang beranggotakan orang-orang bersahabat karib, dipimpin oleh delapan orang berpengaruh di jamannya, di waktu yang berbeda.
Kemudian, atas bantuan sahabat baik yang aku kagumi, Puji Rusiani Yuliati, SPsi. Sri Lestari, SPd. Edi Slameto, ST. M. Toni Andi Astanto, ST. Achmad Sumedi, SPd. Hernawati Solichah, SE. Dwi Aryanti Intan M, SE. Purwadi Susilo. Lumadiyana, SPd. Teguh Ponco Apriyanto, SE. Bara Sabarati, SPsi. Yus Ratmawati, SPsi. Tono, SE. Habib, SSi. Aku dapat menceritakan pencapaian-pencapaian besar yang diraih Malimpa. Prestasi-prestasi yang mengagumkan. Serta tentu saja moment lucu dan keisengan sederhana yang melahirkan kreatifitas tepat guna. Serta lain sebagainya. Termasuk sebuah peristiwa yang kemudian, mengubah arah angin perjalanan Malimpa. Sebuah peristiwa yang kemudian dikenal sebagai, Resolusi Malimpa.
Kisah atau cerita – atau apapun sebutannya – yang ada disini, tidak dimaksudkan untuk menempatkan seseorang pada posisi pahlawan. Atau membuat seseorang menjadi legenda di Malimpa. Pahlawan dan legenda, adalah dua kosakata yang asing di Malimpa. Anggota Malimpa tak pernah menganggap dirinya pahlawan. Mereka juga tak pernah berniat menjadi pribadi yang paling dikenang dalam babad sejarah Malimpa.
Yang menjadi pahlawan bagi angota Malimpa adalah kebersamaan. Karena dengan kebersamaan itulah, komunitas yang ada di dalamnya, akan merasa nyaman, senang dan bahkan bahagia. Perasaan-perasaan ini, akhirnya berubah menjadi ikatan bathin yang bernama persahabatan. Ikatan-ikatan inilah yang kemudian menyatukan anggota Malimpa. Sehingga anggota Malimpa selalu saling bantu, saling berbagi dan saling merasakan. Hingga akhirnya menjadikan mereka kokoh, perkasa dan bahkan tak tertandingi oleh apapun.
Kisah-kisah kebersamaan itulah, yang kemudian dikenang anggota Malimpa. Bahkan, hingga bertahun-tahun kemudian. Kebersamaan itulah sebenarya, pahlawan Malimpa yang layak dikenang sebagai legenda di Malimpa.
Persahabatan memang menjadi warna khas yang menghiasi Malimpa. Maka, tatkala ada yang mencoba merusaknya, pastilah secara alami, ia akan tersingkir dengan sendirinya. Sebaliknya, demi keutuhan warna khas itu, maka akan muncul pribadi dengan segala tingkah polahnya, yang akan melawan segala keterbasan demi tetap tegaknya persahabatan tadi. Disini, ada beberapa cerita yang mewakili situsi semacam itu.
Warna khas di Malimpa tersebut, bukan muncul oleh sesuatu yang seragam. Melainkan oleh perbedaan-perbedaan yang terkadang unik. Hebatnya lagi, ciri semacam ini terus bermunculan, bahkan ketika baru akan masuk ke Malimpa sekalipin. Disini ada cerita semacam itu. Kendati demikian, anggota Malimpa sangat menghargai pendahulunya. Padahal, sebenarnya mereka tak kenal dengan pendahulunya tersebut. Cerita semacam ini, juga ada disini.
Masih banyak cerita lain, yang semuanya terjadi pada periode bersangkutan. Namun, karena banyaknya keterbatasan, cerita yang ada disini pastilah belum lengkap dan sempurna benar.. Oleh karena itu, kritik dan saran, sangat diharapkan.
Akhirnya, semoga kegiatan masa lalu Malimpa ini, dapat menjadi inspirasi terutama bagi anggota Malimpa generasi terkini. Agar dapat melakukan sesuatu yang lebih hebat. Sehingga cerita masa lalu ini, dapat menjadi bagian tipis di buku sejarah Malimpa yang tebal.
Kepada sahabatku yang telah membantu tadi, semula aku ingin mengucapkan terima kasih. Namun kuurungkan. Mereka pasti menolaknya. Aku tahu sanubari mereka. Kami memang saling tahu hati masing-masing. Persahabatan yang kami bangun pada abad 20 lalu, ternyata hingga abad 21 ini, tetap utuh dan tulus. Bahkan, kami pun masih sama-sama lantang mengucaplan yel kebanggan kami semua, “Hidup Malimpa..!”
Salam rimba.


Bagian Pertama
Peristiwa Tak Terduga

Pra dan Pendidikan Dasar
Ketika Malimpa membuka pendaftaran calon anggota baru, pertengahan semester pertama. Aku termasuk dari sekitar 150 mahasiswa UMS yang mendaftarkan diri. Sesuai dengan prosedur disana, kami yang berasal dari semua fakultas di UMS -- ada tujuh -- diharuskan mengikuti Pradiklatsar (Pra Pendidikan dan Latihan Dasar). Lalu, diwajibkan mengikuti Diklatsar (Pendidikan dan Latihan Dasar) IV. Yang rencananya diselenggarakan awal tahun 1988.
Dari calon sebanyak itu, ternyata yang mengikuti Pradiklatsar, berkurang sekitar 20 persen. Entah kenapa. Mungkin ini semacam seleksi alam tingkat prematur. Padahal kegiatan yang diselengarakan pada hari minggu, di dalam kampus UMS tersebut -- menurut kami, peserta -- tidaklah merepotkan benar. Materinya pun biasa-biasa saja.
Setiap peserta – putra maupun putri – hanya diharuskan mengenakan atasan kaos dan bawahan training olah raga. Lalu, memakai sepatu kets dan membawa tongkat Pramuka. Kemudian membawa air minum. Serta membawa ransel yang didalamnya berisi tiga buah batu bata merah.
Warna pakaian yang dikenakan, bebas. Boleh polos, bermotif, atau bergambar penyayi rock sekalipun, tak dilarang. Besar kecil wadah air munum, juga bebas. Terserah peserta. Bawa ransel hijau khas tentara -- ini yang paling banyak-- juga silahkan. Ransel apa saja. Bahkan, seorang peserta putra yang menggendomg ransel anak-anak, bergambar Donald Bebek sedang mancing di sumur, juga tak dilarang.
Usai upacara pembukaan, sekian banyak peserta tersebut, dibagi dalam enam regu. Komposisi anggota regunya merupakan campuran mahasiswa dari semua fakultas yang ada di UMS – ada tujuh fakultas. Kemudian, regu-regu tadi disebar ke enam titik materi Pradiklatsar. Regu satu, ke depan fakultas Hukum. Mengikuti materi jalan jongkok. Regu dua, ke depan FKIP. Mengikuti lari di tempat. Lantas, regu tiga dan empat, ke halaman samping Auditorium. Melaksanakan scoth jump dan push up. Sedangkan regu lima di depan Ekonomi. Melaksanakan materi loncat katak. Terakhir regu enam, haling rintang di parkiran belakang kampus. Setiap regu yang selesai, kemudian menuju titik berikutnya. Menggantikan regu lain sesuai urutan masing-masing regu.
Hanya setengah hari, keenam materi Pradikliatsar tersebut, usai. Tanpa seorang peserta pun -- yang penuh semangat ini -- mengalami cedera ringan atau kelelahan berarti. Peserta diistirahatkan. Kemudian sekitar pukul 14, kegiatan yang dimaksudkan sebagai ajang pemanasan menjelang Diklatsar IV, dilanjutkan. Materinya lomgmarch. Rutenya dari kampus ke komplek pemakaman Makam Haji Praci Maluyo. Lalu balik ke kampus lagi dan kemudian, melaksanakan materi sebrang kering. Lokasinya di sungai selatan kampus. Dekat posko Malimpa.
Tak lebih dari jam 17, materi tahap kedua ini beres. Usai maghrib, barulah Pradiklatsar dilanjutkan. Tetapi bukan materi lagi. Melainkan acara keakraban. Nanti, seusai acara ini, dilanjutkan dengan renungan suci di komplek pemakaman Makam Haji Praci Maluyo.
Malam pengakraban, berlangsung meriah dan lucu. Di acara yang diselenggarakan di griya mahasiswa sambil menyalakan api unggun, Ketua Umum Malimpa Sugeng Mryono alias Simbah, memperkenalkan satu demi satu anggota Malimpa kepada calon anggota baru Malimpa.
Dari Ekonomi ada si tomboy Widyastuti alias Jesi. Si rambut punk Sofi. Si keritng Giri. Ainul yang pendiam, serta masih banyak lagi. Kemudain dari Psikologi ada Haris alias Menjeng. Beberapa anggota Malimpa dari Geografi, FIAI, Teknik dan Hukum, juga diperkenalkan.
Kemudian terakhir, dari FKIP. Ada si ganteng Muhammad Bani Sukron yang kutu buku. Penggemar sastra Ahmad Sumedi. Si kekar Trihandoko. Yusuf Subandrio yang dipanggil Abah. Kemudian Mufti Muhammadi alias mas Mukti. Lantas si putih Retno. Anik Mapawa. Si pemberani Neti. Hananto yang mirip Tentara. Pramono tukang senyum. Halim se pelukis. Dwi Mardani yang keibuan. Serta si harum mewangi Eni Putri. Berdiri di dekat si mbak ini, orang pasti kesulitan menerka merek parfum favoritnya. Namun dari semerbaknya, orang pasti gampang menebak, si rambut pendek ini, pastilah penyuka aroma durian petruk.
Usai acara lucu ini, peserta dan panitia, kemudian berjalan bersama menuju Komplek Pemakaman Praci Maluyo. Melaksanakan renungan suci. Tengah malam, acara ini selesai. Maka, berakhir pula Pradiklatsar Malimpa kali ini.
Pelaksanaan Diklatsar IV yang berbarengan dengan libur semester, tampaknya membuat beberapa calon anggota baru Malimpa, lebih memilih menikmati waktu jeda kuliahnya di rumah, daripada mengikuti kegiatan ini. Jumlah peserta kembali menyusut, hingga ke angka kurang dari 100 orang. Padahal kegiatan ini, juga tak mewajibkan calon anggota baru, dengan hal-hal aneh. Peserta hanya diwajibkan membawa perlengkapan pribadi. Serta membayar sejumlah uang untuk konsumsi dan kaos seragam. Bahkan tenda peserta pun sudah disiapkan panitia.
Usai upacara pembukaan yang dipimpin kordinator BKK UMS Drs. Ali Imron AM. Peserta dibawa -- menggunakan dua buak truk -- menuju lapangan bola desa Polokarto Sukoharjo. Setibanya disini, peserta langsung menempati tenda blacu putih yang telah terpasang rapi. Malam ini, tak ada acara apapun. Hanya panitia yang sesekali terlihat berkunjung ke tenda peserta. Terutama ke tenda putri. Mungkin ingin kenalan.
Esok paginya, usai sarapan nasi bungkus, kelompok tenda dipecah. Lalu digabung ke regu baru. Regu jalan namanya. Tak lama kemudian, peserta mulai melaksanakan materi longmarch. Rute jalan kaki ini lumayan panjang. Sekitar pukul 15, barulah peserta mulai memasuki titik finish, di lapangan bola sebuah desa yang masih terletak di kawasan Sukoharjo.
Di longmarch tadi, peserta tidak diharusklan kuat jalan hingga ke finish ini.Yang tak kuat diangkut naik motor panitia. Longmarch ini, bahkan dijalankan secara santai, serta penuh canda dan tawa. Malahan, beberapa panitia, ada yang bergabung di barisan peserta. Serta sesekali membantu menggendong ransel calon anggota baru.
Esoknya ritual yang sama kembali dijalankan. Tetapi di hari kedua ini, peserta tak akan bermalam lagi di lapangan desa. Longmarch langsung menuju ke titih pamungkasnya, di sebuah kampung yang letaknya agak selatan wilayah Sukoharjo. Di kampung ini pula, upacara pembubaran Diklatsar IV, diselenggarakan. Setelah semua berkumpul, Ketua Umum Malimpa, memimpin acara pembubaran Diklatsar IV Malimpa.
Usai acara ini, aku dan beberapa teman baruku seperti, Kusdinah, Isnaneni, Yanuar Sugiri dan Wahid dari Ekonomi. Kemudian Nuhul Bihar, Siswanti dan Heru dari Hukum. Lantas, Diah dan Heni dari FKIP. Rusli Elyas alias Leo dan Sofyan FIAI. Kemudian M. Toni Andi Astanto dari Teknik. Serta beberapa teman baruku yang lain, dinyatakan resmi menjadi anggota Malimpa. Kami telah memiliki hak dan kewajiban yang sama, dengan anggota Malimpa yang telah lebih dahulu bergabung di organisasi Minat Bakat UMS tersebut.

Makna Lain Kemenangan
Usai mengikuti Diklatsar IV. Aku beberapa kali ke posko Malimpa. Sambutan anngota lama Malimpa yang hangat, akhirnya membuatku nyaris tiada hari tanpa ke Malimpa. Hingga kemudian, aku diajak bergabung ke tim Malimpa, mengikuti Lomba Lintas Lembah Lereng Bukit (L3B) III. Yang diselenggarakan awal Maret 1988. Oleh Himpala Arpacche Univ. Kadiri. Kediri. Jawa Timur.
Usai lomba perdanaku itu, aku disertakan pula mengikuti Lomba Lintas Alam Pedesaan (Linpedes IV) 10 Juli 1988. Yang diselenggarakan Persaudaraan Pencinta Alam (Perpal) Boyolali. Kemudian, aku kembali disertakan pada lomba di Wonosobo. Lomba Lintas Alam Pedesaan (Linpedes I.). Yang diselenggrakan pada 25 September 1988. Oleh Pasma SMA Muhammadiyah Wonosobo. Ketua panitia lomba ini namanya Yusuf Wibisono. Kelak dia akan menjadi anggota Malimpa.
Di tiga lomba tersebut, aku selalu tergabung bersama sahabat baruku Toni Andi dan Joko Ngatmo Ekonomi. Dari beberapa tim putra-putri dan tim campuran yang dikirim Malimpa di lomba-lomba tadi. Hanya di lomba pertama itu saja Malimpa menang. Itupun hanya menjadi Juara I di kategori Putri. Lainnya tidak.
Dalam rentang lomba tersebut, kegiatan lain Malimpa adalah mendaki gunung Lawu (3262 mdpl) dan Gunung Merapi (2911 m). Aktivitas lainnya, hanya ikut mengurus Lomba lari UMSthon dan Wayang Kulit semalam suntuk. Dua acara ini, adalah dalam rangka 30 tahun UMS. Panitia intinya pihak Rektorat.
Keaktifanku yang mulai totalitas, akhirnya membuatku menjadi salah satu pengurus baru Malimpa. Melalui sidang formatur di Musyawarah Kerja (Musker). Aku dipercaya menjadi anggota bidang Litbang Diklat. Menurut peserta sidang formatur, bidangku tersebut sangat strategis. Aku setuju saja. Walaupun, sebenarnya aku tak tahu apa yang menjadi tanggungjawabku.
Sedangkan yang dipilih menjadi Ketua Umum Malimpa, adalah Sugeng Maryono. Anggota Malimpa asal FKIP yang biasa dipanggail Simbah ini, adalah Ketua Umum Malimpa periode sebelumnya. Di tahun keduanya ini, dia akan memimpin Malimpa periode 1988-1989. Bersama Muhammad Bani Sukron FKIP. Di posisi Sekretaris Umum. Wakilnya, Endah Linawati FKIP. Ketua bidang I Achamd Sumedi FKIP. Kemudian Ketua Bidang II Mustofa FIAI. Lantas yang jadi Bendahara Umum Widiyastuti Ekonomi. Wakilnya Eni Putri FKIP.
FKIP memang adalah fakultas terbesar di UMS. Anggota Malimpa yang berasal dari sana, banyak. Mengalahkan anggota yang berasal dari fakultas lain Sehingga bukan sesuatu yang mengherankan bila Malimpa terkesan didominasi mahasiswa FKIP.
Beberapa minggu usai Musker tersebut. Malimpa mengikuti Lomba Napak Tilas Penghayatan Sejarah Perjuangan Bangsa VII. Yang diselenggarakan Fakultas Peternakan Unsoed Purwokerto, pada 11-13 November 1988. Di lomba dua tahunan ini, Malimpa mengirim sepasang tim yang terdiri dari, Regu Putri beranggotakan Giri, Jesi, Lina, Sofi dan Prastiwi dari Hukum. Kemudian Regu Putra berisi Trihandoko, Toni Andi, Joko Ngatmo, Wahid Ekonomi dan aku sendiri. Sedangkan official tim adalah Ketua Umum Malimpa dan Syaifuddin dari Teknik.
Perjuangan Malimpa di lomba yang kabarnya diikuti 300-an peserta tersebut, berbuah manis. Regu Putri Malimpa, keluar sebagai juara I. Dan karena total nilainya melebihi juara kategori manapun, Regu Putri Malimpa, dinobatkan pula sebagai juara umum. Sehingga berhak atas piala tetap Rektor Unsoed dan Piala bergilir Menpora RI. Kemenangan ini sangat fantastis. Kami semua bersorak kegirangan. Bahkan, sebelum pulang ke Solo, kami sempat jalan-jalan ke objek wisata Baturaden Purwokerto. Merayakan kemenangan.
Kemenangan tersebut, menggembirakan semua anggota Malimpa. Serta menjadi buah bibir di UMS. Kegembiraan Malimpa mencapai puncaknya, ketika Malimpa diundang ke acara spesial untuk Malimpa, yang diselenggarakan Rektor UMS. Sebagai bentuk apresiasi UMS. Terhadap kemenangan Malimpa. Kemudian, di acara yang dihadiri seluruh Dekan dan pejabat penting di lingkungan UMS. Malimpa -- diwakili Pembinanya Drs. Ilham Sunaryo -- menyerahkan dua buah piala yang tingginya sepinggang orang dewasa, ke Rektor UMS. Drs. M. Djazman Al Kindi. Di acara yang diselenggarakan di Puslitbang ini pula, Rektor UMS. Kemudian memberikan penghargaan kepada Malimpa berupa 12 pasang training olah raga abu-abu bergaris biru. Harapan Rektor UMS -- dengan berseragam training baru ini mungkin -- nantinya Malimpa akan dapat meningkatkan prestasinya di dunia kepencintaalaman di Indonesia.
Dengan prestasi di lomba tadi, anggota Malimpa memang bangga. Namun dibalik euphoria tersebut, beberapa pengurus dan anggota Malimpa, menilai, kemenangan ini sebenaranya, tak membawa perubahan fundamental di Malimpa. Bahkan, justru kian mengukuhkan bahwa kepemimpina Malimpa periode ini, tak beda jauh dengan masa bakti sebelumnya.
Karena, seperti lomba-lomba terdahulu, pada lomba terakhir ini, pola rekruitmennya anggota regu, masih sarat nuansa kedekatan individu. Bukan berasaskan kepatutan dan kelayakan. Bahkan, dalam beberapa lomba sebelum ke Purwokerto, ada yang bukan anggota Malimpa -- karena akrab dengan pejabat tertinggi Malimpa -- menjadi anggota tim Malimpa. Padahal, kalau fair, anggota Malimpa yang mampu diajang lomba semacam ini, tak sedikit jumlahnya.
Model kepemimpinan di Malimpa yang “tertutup”, pada periode ini juga kembali mencuat. Keputusan-keputusan Malimpa masih hanya ditentukan pimpinan tertingginya. Tidak melalui mekanisme organisasi rapat pengurus. Sebagian besar pengurus. Malah tak tahu jika Malimpa akan turun berlomba.
Pengurus Malimpa -- kecuali yang berada dilingkaran terdekat Ketua Umum -- tak tahu, berapa sebenarnya dana yang didapat dari kampus. Berapa yang dipergunakan untuk mengikuti lomba? Lantas, kemana pula anggaran Malimpa selama ini? Bagaimana perhitungannya? Kenapa tidak di Bendahara Malimpa?
Selanjutnya, beberapa pengurus dan anggota Malimpa tadi, yang sedari awal kepengurusan periode ini terbentuk, telah menilai bahwa, Malimpa masih tak punya visi membangun masa depannya. Malimpa masih mengandalkan “hidup” organisasi, hanya dari lomba ke lomba. Serta sesekali mendaki Lawu (3262 m) dan Merapi (2911 m). Serta gunung Merbabu (3142 m). Pengurus dan anggota Malimpa, kian tak puas dengan kiprah Malimpa sekarang.
Penilaian demikian. Tidaklah berlebihan. Sebab -- kala itu -- kegiatan pencinta alam di Indonesia, telah menjadi semacam dunia kecil yamg menarik banyak orang untuk berkiprah didalamnya. Sehingga tak ada lagi gunung yang sepi pendaki. Tebing batu, sungai dan rimba belantara, juga selalu dikunjungi pencinta alam. Bahkan, beberapa klub pencinta alam terkenal di Indonesia, telah merencanakan ekspedisi pendakian ke gunung bersalju di Nepal. Kemudian ke Eropa, Afrika dan bahkan ke Amerika Latih segala.
Media massa juga rajin mewartakan perkembangan kegiatan pecinta alam dan rubrik berisi aktivitas pencinta alam, selalu ludes. Pokoknya, dunia pencinta alam Indonesia, benar-benar maju pesat. Bahkan, saking populernya, pencinta alam yang patah hatipun, tak malu melukiskan nestapa bathinnya ke dalam bait puisi mengenaskan bahwa, “gunung adalah kekasih abadiku”. Luar biasa.
Mirisnya, hingar bingar semacam itu, tak ada di Malimpa. Bahkan, ketika pendaki Indonesia berhasil mengibarkan merah putih di puncak Vasuki Parbat, Imja Tse dan Lhotsetsar, yang berketinggian 6000-an mdpl di jajaran pegunungan Himalaya. Malimpa, malah masih saja berkutat dan mendaki Lawu, Merapi dan Merbabu. Juga, ketika siswa SMA berhasil ke puncak Semeru (3572 m). Malimpa masih saja menunggu undangan lomba Napak Tilsa.
Memang, mendaki gunung yang rutenya telah dihapal luar kepala, serta jaraknya dekat dari rumah, si pendakinya memang tak bakal menemui hambatan serius. Malimpa yang selalu mengulang-ulang pendakian ke trio gunungnya, dengan alasan, “Jika ke gunung lain kita takut celaka, karena belum berpengalaman kesana”. Pastilah selalu merasa aman, nyaman dan santai.
Namun, kemajuan kegiatan alam bebas, sejatinya tidak diukur dari seberapa aman dan nyamannya perasaan yang bakal didapat, lantaran berkali-kali mendaki gunung yang sama. Kemajuan outdoor activity, diukur dari seberapa mampu manusia mengatasi keterbasannya menghadapi tantangan alam yang ganas. Sehingga, jika tantangannya makin mematikan, justru makin menawan. Kian sangar kian diincar. Makin ekstrim justru itu yang dicari. Dari segi aman dan nyaman, Malimpa tak keliru. Namun dari sudut perkembangannya sebagai penggiat aktivitas alam bebas, Malimpa KO.
Beberapa pengurus dan anggota Malimpa, sudah banyak yang mengerti ukuran tersebut. Karena kondisi anggota Malimpa, memang sudah pada taraf ingin seperti kelompok lain, yang mereka lihat di media massa. Anggota Malimpa mulai ingin, latihan panjat tebing dan mendaki gunung di luar wilayah Surakarta. Atau ekspedisi atau apalah. Asal tidak ke trio gunung itu terus.
Kondisi demikian bukan tak pernah dibahas di Malimpa. Di beberapa rapat ataupun pertemuan informal di posko Malimpa, ide-ide untuk kemajuan Malimpa sering dicuatkan. Namum hasilnya selalu jauh panggang dari api. Inilah yang membuat pengurus dan anggota Malimpa semakin tak puas dengan kepemimpinan di Malimpa periode ini.
Bahkan ketika pengurus Malimpa -- dimotori Achmad Sumedi, Bani Sukron, Jesi dan Lina -- berinisiatif mengikutkan Malimpa ke acara Gladian Pencinta Alam se-Indonesia di Lampung. Usulan inipun kandas di tangan Ketua Umum. Bukan dirapat pengurus. Kabarnya, Ketua Umum Malimpa, tak setuju karena Malimpa dianggapnya belum mampu. Malimpa tak ada anggaran. Serta sebentar lagi Malimpa akan menggelar Diklatsar V.
Beberapa pengurus yang mengajukan rencana ini, tak puas. Argumen yang mengatakan Malimpa belum siap, adalah alasan yang kurang masuk akal. Gladian, bukan ajang lomba tingkat tinggi. Tetapi merupakan ajang menimba ilmu serta forum terbesar pencinta alam, yang sering menghasilkan keputusan penting, seperti Kode Etik Pencinta Alam Indonesia. Pengetahuan dan ilmu yang didapat di forum penting pencinta alam ini, nantinya, dapat dipakai sebagai materi pendidikan dasar Malimpa. Sehingga tak lagi sekedar longmarch. Melainkan materi yang layak untuk sebuah perhimpunan pencinta alam level mahasiswa.
Alasan waktunya mepet. Juga dinilai kurang mendasar. Yang akan dikirim -- silahkan siapa saja, asal melalui keputusan rapat -- tak lebih dari lima orang. Waktunya juga kurang dari seminggu. Jadi Malimpa tak akan kekurangan orang. Alasan tak ada anggaran, dinilai Achmad Sumedi dan Jesi cs tadi, juga tak pantas. Kapanpun Malimpa ikut lomba, bisa. Menimba ilmu kok tidak?
Pengurus dan anggota Malimpa yang punya orientasi sama buat memajukan Malimpa, akhirnya sering bertemu secara informal. Membahas kondisi terkini Malimpa. Diskusi tanpa pemimpin ini, kemudian kian sering dilakukan. Pesertanya pun selalu bertambah. Namun yang tak pernah absen adalah Bani Sukron, Lina, Achamd Sumedi, Jesi, Eni Putri, Leo, Wahid, Toni dan aku sendiri.
Di beberapa pertemuan, sering pula hadir tiga senior yang berpengaruh di Malimpa, Abah Yusuf Subandrio, Haris alias Menjeng, Mufti Muhammadi atau mas Mukti. Serta Pembina Malimpa Drs. Ilham Sunaryo. Keempat figur ini, adalah sahabat dekat Ketua Umum Malimpa. Namun, karena mengedepankan logika jernih. Keempatnya akhirnya mengambil sikap berseberangan dengan sahabatnya sendiri. Belakangan, dukungan juga diberikan oleh senior Malimpa yang tak kalah berpengaruhnya, Dwi Mardani
Suasana semacam itu makin berkembang. Hingga akhirnya, membuat Malimpa pecah menjadi dua kelompok. Satu kelompok informal tadi. Satunya lagi, kelompok yang dibawahi Ketua Umum Malimpa, yang anggotanya justru terlihat menilai, “tak ada masalah apa-apa Malimpa”.
Perpecahan tersebut, kemudian semakin kentara dan sangat kasat mata. Diklatsar V. Tak pelak, menjadi arena perang dingin antar dua kelompok itu. Sehinggga pelaksanaan Diklatsar V. Sering mengandalkan spontanitas yang tak jarang menabrak spontanitas lainnya. Namun, hebatnya peserta banyak yang tak tahu.
Di kegiatan di Boyolali ini pula. Tampak benar bahwa, Malimpa tak punya visi mendidik calon anggotanya. Malimpa masih saja longmarch dari desa ke desa yang dimeriahkam api unggun, sambil sesekali bernyanyi. Padahal methode semacam ini sudah jauh ketinggalan jaman.
Usai Diklatsar V, perpecahan di Malimpa tidak padam. Malah membesar. Kelompok informal tadi, makin sering berkumpul. Dari beberapa pertemuannya, kelompok ini kemudian menyimpulkan, Malimpa pada periode ini sama dengan sebelumnya. Tak punya orientasi membangun masa depan Malimpa. Ketua umum yang “jalan” sendiri, sementara jajarannya tidak dilibatkan dalam kepemimpinan Malimpa. Serta keuangan yang tak jelas. Tidak akan membuat kepengurusan optimal. Serta masih banyak masalah lain yang dipandang tak akan membuat Malimpa membaik.
Akhirnya dalam satu pertemuan yang berakhir dinihari. Kelompok ini, kemudian menyepakati bahwa, untuk mengeluarkan Malimpa dari krisis masa depan, adalah dengan membuat sebuah surat berisi, “Mosi Tidak Percaya”.
Surat ini, akan ditujukan kepada Ketua Umum Malimpa. Surat ini tidak memakai kop surat Malimpa. Sedangkan yang akan menandatanganinya adalah Achmad Sumedi dan M. Bani Sukron. Surat ini, juga akan dilampiri kolom tanda tangan anggota Malimpa, yang bersedia mendukung rencana ini. Aksi ini kemudian dikenal sebagai Resolusi Malimpa.
Yang dipercaya menggabungkan berbagai kesimpulan hasil pertemuan tersebut menjadi surat mosi tidak percaya, adalah M. Bani Sukron. Dia dipercaya, karena paling memahami hal ihwal organisasi tingkat mahasiswa. Pengetahunnya paling luas. Pikirannya sangat objektif. Sukron juga jago merangkai kata-kata. Dia lihai membuat konsep apapun. Sukron juga bermental baja, serta tak gentar beradu argumen ilmiah kepada pihak manapun yang mempertanyakan resolusi ini. Sedangkan, aku dan Toni, dipercaya mengumpulkan tandatangan, dengan catatan, kami tak boleh bangun kesiangan.

Peristiwa Tak Terduga
Hari-hari terakhir di bulan Februari 1989. Pengurus dan panitia Diklatsar V Malimpa, mengadakan pertemuan di salah satu ruang FKIP. Yang terletak di sebelah barat posko Malimpa. Namun, pertemuan itu nyaris berantakan. Bahkan, agenda tunggal evaluasi pelaksanaan Diklatsar V urung dibahas. Karena di rapat yang baru berlangsung berapa menit itu, Ketua Umum Malimpa membacakan surat mosi tidak percaya, yang diterimanya beberapa menit lalu dari Toni. Usai membacanya, dengan nada emosional, ia menyatakan “Mengundurkan diri dari posisinya sebagai Ketua Umum Malimpa”.
Semua orang disini, langsung kaget bukan main. Keputusan mendadak tersebut, sangat mengejutkan. Di luar dugaan siapapun. Termasuk penandatangan resolusi atau surat mosi tidak percaya tadi. Suasana pertemuan berubah mencekam, mendadak penuh curiga, emosional dan bahkan terasa “panas”.
Memang, aku tak ingat lagi, detil lengkap isi mosi tidak percaya tersebut. Namun, dapat kupastikan, bahwa surat yang kolom di halaman keduannya, berisi tanda tangan anggota Malimpa yaitu, Abah Yusuf, Menjeng, Mufti Muhammadi, Achmad Sumedi, MB Sukron, Jesi, Lina, Eni Putri, Rusli Elyas, Retno, Neti, Anik Mapawa, Toni, Wahid dan aku sendiri. Tak memuat kata-kata yang menghendaki Ketua Umum Malimpa mengundurkan diri, apalagi memaksanya turun. Mosi tidak percaya atau resolusi tersebut, permintaan dasarnya hanyalah meminta, agar di Malimpa diadakan evaluasi secara menyeluruh. Tak lebih dari itu.
Dengan evaluasi besar-besaran, diharapkan Malimpa akan berjalan sesuai AD/ART. Penuh warna, serta menghargai partisipasi semua anggota Malimpa dan sebagainya. Sehingga Malimpa benar-benar dapat mengemban misinya sebagai lembaga kader bidang minat bakat di UMS. Dengan demikian anggota Malimpa, akan melek organisasi. Jago di bidang pencinta alam. Menjadi pribadi tangguh. Serta, syukur-syukur, rajin beribadah seumur hidupnya.
Keputusan Ketua Umum mengundurkan diri, jelas patut disayangkan. Apalagi dia bukan figur sembarangan. Dia juga mempunyai kepribadian kuat dan mampu menguasai emosi. Sehingga segala galau dihatinya, tak akan terlukis jelas diwajahnya. Dia juga pandai melucu. Tak jarang humor segarnya menyemarakan suasana di Malimpa.
Sayangnya, semua kelebihan tersebut, tak muncul justru disaat Malimpa sangat membutuhkannya. Padahal dengan pengalaman panjangnya di Malimpa. Serta kepribadiannya yang matang, pastilah tak sulit baginya menghadapi sepucuk surat yang kalimanya tak pedas.
Ketua Umum Malimpa, memang termasuk figur besar yang segala titahmya selalu diiyakan oleh sekian banyak anggota Malimpa. Termasuk ketika ia mengambil keputusan dramatis, yang belum pernah terjadi di Malimpa. Mengundurkan diri. Tak seorang pun berani membantahnya.
Ada yang menduga, keputusannya mengundurkan diri, lebih disebabkan emosi sesaat. Lantaran terkejut menerima surat mosi tidak percaya, hanya beberapa menit sebelum rapat dimulai. Konon, dia juga tersinggung dengan kata-kata “Malimpa memerlukan figur berakhlak mulia”, yang terdapat di surat tersebut berbahasa formal tersebut.
Spekulasi boleh saja ada. Namun, keputusan mengundurkan diri tetaplah disayangkan. Sebab, jika dipandang dari sudut terjernih, mosi tidak percaya atau resolusi tersebut, sebenarnya, hanyalah puncak gunung es yang mewakili gambar kondisi Malimpa sebenarnya. Bahwa pengurus dan anggota Malimpa sekarang, mulai kritis, haus akan perubahan, bervisi ke depan dan tidak pragmatis atau berpikir sempit jangka pendek.
Pribadi-pribadi semacam itu, sebaiknya dipandang sebagai asset organisai. Harta berharga Malimpa. Karena, sejatinya Malimpa akan maju dan besar, oleh anggotanya yang reaktif terhadap perubahan jaman. Bukan oleh anggota yang mengekor ke seorang.. Serta tak sadar, bahwa jagat raya pencinta alam sudah berbeda jauh dengan kemarin.
Mantan Ketua Umum Malimpa, ternyata tak sekedar mengundurkan diri. Ia, bahkan, benar-benar meningalkan Malimpa. Lalu, beberapa saat kemudian, ia dan beberapa sahabat dekatnya yang juga anggota Malimpa, mendirikan kelompok pencinta alam di luar UMS.
Seiring waktu, kelompok mereka -- yang namanya mirip nama sayuran dan logonya nyaris persis dengan lambang sebuah merk minuman ringan -- sering berjumpa dengan tim Malimpa, di berbagai ajang lomba. Walaupun pertemuan tersebut, beraroma pertandingan derbi AC Milan – Inter Milan di kancah Liga Itali. Sejujurnya, Malimpa tak pernah memusuhi mereka. Kalaupun Malimpa selalu menang, hanyalah karena tim Malimpa, dipersiapkan secara baik, agar unggul atas siapapun.
Malimpa tak mendendam. Malimpa tak pernah memecat siapapun di kelompok tersebut. Mereka tetap anggota Malimpa. Prestasi, sumbangsih dan peran mereka tak pernah dihapus. Tetap dicatat dengan tinta emas, lalu disimpan baik-baik ke dalam sejarah Malimpa. Sama seperti yang lain.
Kalaupun mantan Ketua Umum Malimpa tersebut, menghadiri acara-acara di Malimpa. Ia harus duduk di kursi terdepan. Di barisan terhormat. Karena memang disanalah tempatnya. Sampai kapanpun.










Bagian Kedua
Ketakutan Yang Sirna

Warisan Turun Temurun
Kevakuman kepengurusan Malimpa, tak berlangsung lama. Melalui Sidang Istimewa (SI). Achmand Sumedi, terpilih secara aklamasi bulat menjadi Ketua umum Malimpa. Periode masa bhakti 1989-1990. Sidang ini juga menyepakati Sekretaris umum dijabat M. B. Sukron. Wakilnya Endah Linawati. Bendehara Umum, dipercayakan kepada Widyastuti. Wakilnya Eni Putri. Lalu, Mustofa sebagai ketua bidang 1. Sedangkan Rusli Elyas sebagai ketuaa bidang II
Bagi anggota Malimpa, figur Achmnad Sumedi, yang berkepribadian terbuka, akrab dengan siapapun di Malimpa, serta sangat antusias memotivasi anggota Malimpa, untuk aktif dan meningkatkan kemampuannya, sangat diperlukan buat memajukan Malimpa. Dengan didukung anggota Malimpa yang loyal, Achmadi Sumedi dan semua sahabatnya tadi, tak akan menemui hambatan macam-macam mengurus Malimpa.
Suasana Malimpa di era pengurus baru ini, benar-benar berbeda dengan sebelumnya. Setiap hari selalu ada kegiatan. Sehingga posko Malimpa rak perbah sepi lagi. Surat menyurat ditertibkan. Administrasi keuangan dirombak habis. Semua sisa kegiatan dilaporkan secara terbuka. Semua anggota Malimpa, berhak tahu isi dimpet Malimpa. Uang kas akan dimasukan ke buku kas. Nantinya, uang kas ini, akan jadi harta warisan turun temurun antar generasi di Malimpa.
Begitu halnya dengan rekruitmen anggota Malimpa, yang akan dikirim mewakili lomba. Dilakukan secara transparan dan berasaskan kemampuan. Hasil rekruitmen gaya baru ini, tak mengecewakan. Di L3B Univ. Kadiri. Kediri. Dari tiga tim yang dikirim Malimpa, yang terdiri dari Regu Putra Toni, aku sendiri dan Sugiyarto dari Ekonomi. Kemudian Regu Campuran, Leo, Nana dan DA. Intan M dari Ekonomi.. Lantas Regu Putri Sofi. Ekonomi, Lina, FKIP dan Prastiwi dari Hukum. Tim putri berhasil keluar sebagai Juara Pertama. Kemenangan yang diraih pada 2 April 1989, merupakan bukti kecil bahwa Malimpa tetap eksis.
Peningkatan SDM benar-benar dilakukan secara gradual, terencana, kontinyu dan konsisten. Baik melalui ajang diskusi mingguan di Malimpa. Mengikuti seminar pencinta alam. Maupun melalui buku dan berbagai literatur lainnya tentang pengetahuan teknis kegiatan alam bebas. Bahkan pada 17-20 Maret 1989. Malimpa mengirim Toni, Tofa, Eni dan aku sendiri, mengikuti the Great Camping IV Mapala UMY. Di Bebeng Yogiakarta.
Keikutsertaan Malimpa pada event yang merupakan pendidikan dasar tersebut, benar-benar membawa angin baru. Karena bukan saja kemampuan teknis yang meningkat signifikan, tetapi Malimpa juga mulai “gaul”. Mapala UMY adalah saudara dekat pertama Malimpa, di jagat raya pencinta alam Indonesia.
Semangat luar biasa dan motivasi tinggi anggota Malimpa, untuk memajukan Malimpa sehingga benar-benar berada pada level “Mapala”, rupanya mendapat gayung bersambut dari pihak UMS. Usulan Malimpa untuk menambah peralatan panjat tebing dan perangkat komunikasi, nyaris disetujui semua.
Sehingga kemudian, di lemari Malimpa, tak hanya berisi karmental lama dan selusin trainng olah raga. Melainkan, sudah bertambah dengan segulung karmantel baru hijau pupus, sekian biji carabiner, sejumlah weebing warna warni, chock, paku tebing, prusik, harness duduk dan lain sebagainya. Termasuk sebuah HT baru.
Lantas, berbekal peralatan baru itu, ditambah pengetahuan cekak dan kemampuan panjat tebing yang masih perlu dipertanyakan. Sekian belas anggota Malimpa -- Jesi, Lina, Medi. Eni, Gowang dll -- berangkat ke Karang Lo Matesih. Dari info yang kami dapat, Karang Lo merupakan lokasi ideal buat latihan panjat tebing.
Di kaki bukit Karang Lo, kami menemukan celah yang cukup luas dengan kemiringan mendekati ideal. Serta dipenuhi lubang kecil dan juga dihiasi batu yang bertonjolan disana-sini. Kami mulai latihan di celah bagus ini.
Dalam latihan perdana di tebing alam tersebut, Toni dan Ipunk bergantian sebagai leader atau pemanjat pertama.. Lalu disusul Puput, Jesi, Eni Putri, Medi dan yang lain. Sementara yang belum kebagian manjat, latihan belayer.
Bergantian kami bergaya bak pemanjat mahir tingkat dunia Patrick Edlinger dan Lyn Hill, yang sering kami lihat di majalah. Bahkan, saking ingin bergaya, Slamet tak sungkan-sungkan membawa semua peralatan panjat, yang berbobot hampir empat kilo yang melingkari pinggangnya, hanya untuk memanjat tebing setinggi tiga meter.

Latihan ini sangat menyenangkan. Kegembiraan kami baru sejenak terhenti, tatkala ada seorang petani yang tergopoh-gopoh mendekat. Bapak ini menceritakan bahwa, yang biasa diguakan tentara latihan bukan disini. Tetapi tebing diatas lagi. Celah ini tak pernah dipakai, bahkan penduduk setempat saja, berpikir seribu kali jika hendak kesini. Sebab, di lokasi tempat kami sedang bergaya-gaya mirip Patrick Edlinger dan Lynn Hill ini, ada penunggunya dan hantu yang tinggal disini, berpuluh-puluh banyaknya. Nah.

Dasawarsa Malimpa
Melacak hari lahir Malimpa, ternyata bukan perkara sepele. Dokumen Malimpa ternyata banyak yang yang raib. Padahal sebelum resolusi Malimpa dulu, ada banyak dokumen yang bisa dijadikan rujukan, buat merayakan hari jadi Malimpa.
Parahnya lagi -- karena jarang diperingati, bahkan sering lewat begitu saja -- sebagian besar anggota Malimpa, tak tahu kapan Malimpa dilahirkan. Sisanya, justru tak tahu jika Malimpa punya hari ulang tahun. Barulah setelah tanya sana-sini, didapat keterangan pasti bahwa, Malimpa muncul ke dunia tanggal 25 Mei 1979. Sedangkan yang mengusulkan nama Malimpa -- sebelum disepakati -- adalah Drs. Hardjanto, anggota Malimpa yang menjadi staf UMS.
Lantas, berdasarkan kesaksian dan bukti-bukti tak terbantahka itulah, anggota Malimpa, kemudian menggelar tiga kegiatan sekaligus yaitu, Lomba Lukis Tong Sampah. Tumpengan. Serta mendaki gunung Sindoro. Ketiga kegiatan ini dikemas dalam acara bertajuk “Dasawarsa Malimpa”.
Lomba Lukis Tong Sampah yang berlangsung di halaman Auditorium, 25 Mei 1979. Berlangsug lancar dan menjadi tontonan warga UMS. Ajang yang memperebutkan piala Rektor UMS. Sekretaris Universitas. PR. I, II dan III. Diikuti 18 peserta yang terdiri dari beberapa orang kartunis yang berasal dari paguyuban kartunis di Solo. Serta siswa sekolah menengah di Surakarta, termasuk seorang peserta yang melukis menggunakan jari kakinya karena -- maaf -- tangannya tak dapat difungsikan secara penuh.
Kegiatan yang dimaksudkan sebagai dukungan Malimpa terhadap program, Berseri Pemda Solo, dimuat pula di beberapa media yang beredar di Surakarta.

Acara tumpengan yang berlangsung malam harinya di joglo griya mahasiswa UMS. Berlangsung meriah dan heboh. Yang menjadi tamu istimewa acara ini, adalah Mapala UMY. Saudara dekat Malimpa ini, datang berombongan menggunakan bis kampusnya, serta sepeda motor dan beberapa mobil berukuran kecil.
Dilihat dari kesuksesan Malimpa menggelar lomba dan tumpengan tadi, atau dipandang dari sudut aktivitas keseharian, tranparansi keuangan, menejemen terbuka, ataupun dari sisi-sisi lain, Malimpa memang berubah 180 derajat. Sudah “Oke bangetlah”. Tapi soal keberanian ke gunung, nyali Malimpa ternyata masih ciut. Budaya lama yang masih tersisa.

Mencari Pengalaman
29 Mei 1989. Pengurus dan panitia Dasawarsa Malimpa, mengadakan pertemuan mendadak untuk menyikapi situasi cuaca, yang entah kenapa, beberapa hari ini hujan deras turun hampir setiap jam. Beberapa anggota Malimpa galau. Bahkan dalam rapat senin pagi di posko Malimpa tersebut, muncul usulan, agar rencana ke Sindoro, sebaiknya dialihkan ke Merbabu saja. Alasannya, Malimpa sudah berpengalaman mendaki Merbabu. Jarak dari kampus pun tak jauh. Artinya jika ada masalah dengan cuaca, Malimpa tak benar-benar repot.
Sedangkan ke Sindoro, Malimpa belum pernah. Bahkan, tak tahu apa-apa tentangnya Letaknya jauh dari kampus. Jika terjadi apa-apa, pastilah bakal berakibat fatal. Masih banyak alasan lain. Namun, kalau dikumpulkan, muaranya cuma satu, Malimpa takut karena belum berpengalaman mendaki Sindoro.
Aku dan Toni yang sedari awal Dasawarsa Malimpa dicetuskan, telah berniat besar membawa sahabat-sahabat kami di Malimpa, ke puncak Sindoro. Benar-benar kecewa, terpukul, bahkan marah – tipikal khas anggota Malimpa tingkat kopral. Alasan itu terlalu mengada-ada dan tidak khas pencinta alam. Kami berdua, akan melakukan apa saja, asal pendakian ini tetap dilaksanakan.
“Baiklah”, kata Toni menahan geram. Rahangnya bergerak-gerak. “Siang ini juga, kami berdua akan mendaki Sindoro. Mencari pengalaman dulu, agar Sabtu nanti kita tetap kesana”.
Beberapa anggota Malimpa melarang. Kawatir. Musim penghujan bukan waktu yang tepat buat ke gunung. Tetapi tekad kami sudah bulat.Tak ada yang dapat menghentikan langkah kami, termasuk dompet kami yang ternyata sama kerontangnya. Ketika akan meninggalkan posko Malimpa, muncul Leo.
“Ada apa ini ?”, tanyanya singkat.
“Kami mau ke Sindoro”, jawab Toni sekenanya.
“Aku ikut”, jawab Leo lebih singkat lagi.
Kami berdua kaget. Aku sempat berencana memberikan sedikit penjelasan kepada Leo. Kawatir dia salah mengerti dengan jawaban Toni. Tetapi, niat itu kuurungkan, karena Leo telah menghilang. Ia pulang, mengambil perlengkapannya. Lagipula penjelasan itu, pasti tak akan ada gunanya.
Leo yang wajahnya mengandung unsur abjad ABCD. Abri Bukan Cepak Doang. Merupakan sosok pemberani yang tak hirau urusan hidup mati. Namun -- ini yang kukagumi -- dibalik semua penampilan dan sikapnya itu, leo berhati tulus. Ia dengan caranya sendiri, sangat menyayangi semua sahabatnya di Malimpa. Tanpa sekalipun mengharap, sahabatnya pedulinya kepadanya. Keputusannya ikut ke Sindoro, adalah bukti kasih sayangnya itu. Ia tak ingin kami berdua celaka. Padahal keputusannya ikut, bisa saja mengancam keselamatan jiwanya sendiri. Akhirnya kami bertiga berangkat.
Usai maghrib, kami bertiga sampai di desa Garung. Desa kecil yang masuk wilayah Kabupaten Temanggung ini, adalah salah satu titik awal ke puncak Sindoro. Masih ada yang lain. Kami memilih Desa ini, karena hanya ini yang kami tahu. Usai melapor ke aparat desa, kami langsung mendaki. Malam ini, hujan hanya rintik-rintik. Jadi, kami tak mengalami kendala berarti.
Dalam pendakian ini, kami tak mematok target khusus. Berapa jam harus tiba di puncak umpamanya. Fokus kami, hanyalah memperhatikan jalur-jalur sulit, lalu mencatatnya. Kemudian memasang tali rafia merah, di beberapa cabang pohon di pinggir rute pendakian. Rafia ini, nantinya akan dijadikan rambu yang akan menuntun peserta pendakian massal ke puncak. Kemudian kami mencari lokasi yang dapat dijadikan sebagai tempat isitiahat, jika nanti ada peserta pingsan. Serta menghitung berapa jam waktu maksimal yang diperlukan, dari titik awal desa Garung hingga ke puncak.

Sindoro, ternyata bukanlah gunung yang sulit didaki. Lumayan mudah dan tak membingungkan. Disini hanya ada jalur tunggal pendakiannya. Tak seperti gunung Lawu yang banyak jalur potong kompasnya. Menjelang pagi, kami bertiga tiba di puncak Sindoro.
Tak ada perayaan khusus yang digelar. Bahkan sarapan pagi kami hanyalah minum air putih yang rasanya mirip es batu baru mencair. Kami tak punya lagi sesuatu yang bisa dimakan. Perbekalan kami yang hanya terdiri sekian iris roti tawar tipis. Nasi putih yang dingin. Kuah oseng-oseng yang hampir basi. Beberapa biji kerupuk yang mulai melempem. Serta tiga botol air putih dan beberapa bungkus mie instant yang sudah remuk Namun, karena jumlahnya tak seberapa. Walaupun diirit-irit akhirnya habis beberapa jam menjelang kami bertiga tiba disini.
Aktivitas di puncak, hanya kami isi dengan membahas tempat-tempat strategis, yang dapat dijadikan sebagai lokasi berlindung bersama, jika pada pendakian massal nanti, tiba-tiba hujan deras turun tanpa ampun. Setelah itu kami tuturn.
Namun, belum sampai satu jam berjalan. Satu persatu kami terduduk . Kantuk, dingin dan lapar membuat kami bertiga benar-benar kepayahan. Kami tertidur. Entah berapa lama. Kami mulai terjaga ketika hujan mulai membahasi wajah. Tak ada pilihan lain, kami harus turun.
Hujan ternyata bertambah lebat. Pandangan kami mulai terhalang oleh airnya. Jalur pendakian berubah menjadi parit kecil penuh air yang bercampur potongan ranting, dan sedikit lumpur. Kaki mulai sulit dilangkahkan. Bahkan, jari kaki dan tangan kami bertiga mulai memucat.
Badan kami mulai menggigil. Pertanda alami kedinginan tingkat memprihatikan. Lantas, rasa lapar yang tadi kami tahan-tahan, sekarang mulai ikut-ikutan menyiksa. Perut kami mulai agak sakit dan lidah berasa pahit. Kondisi fisik kami turun drastis. Kami bertiga benar-benar babak belur. Kami bertiga hanya tinggal asal melangkah. Konsentrasi kami pun rupanya mulai hilang. Akibatnya ternyata membawa akibat lumayan fatal.
Usai melewati ladang tembakau, ada pertigaan kecil. Dari titik ini, kami harusnya mengambil jalur lurus yang akan berakhir desa Garung. Dari sini ke Garung paling lama setengah jam. Celakanya, kami justru mengambil rute ke kanan. Rute ini bukan ke Garung. Melainkan ke desa lain, yang bahkan masuk wilayah Kabupten Wonosobo. Jaraknya pun, justru makin melambung jauh.
Setelah berjam-jam tertatih-tatih, barulah samar-samar nun disana, kami melihat genteng rumah penduduk. Ini jelas pemandangan bagus yang membangkitkan optimis kami. Bergegas kami kesana.
Ternyata setelah tiba, kami baru tahu, yang kami lihat dari kejauhan tadi, bukan atap pemukiman penduduk, melainkan atap komplek peternakan babi. Jalur yang kami lintasi yang kemudian membelah peternakan ini, merupakan satu-satunya jalan ke balik bukit disana. Mau tak mau kami harus melewatinya. Kami benar-benar kecewa..
Namun, yang lebih menjengkelkan, justru kelakuan hewan-hewan gemuk ini. Mereka samasekali tak menunjukann sikap sebagai tuan rumah yag santun. Para bapak babi dan pemuda babi, yang tadi hanya berdiam diri dilumpur -- seolah membiarkan kami tiba ditengah di kampung dulu -- mendadak secara bersama-sama, mengejar kami. Bahkan, beberapa ibu babi usai meyusui bayinya, ikut-ikutan mengejar kami. Sementara warga setempat lainnya yang terkurung di kandang, hanya melongok-longok. Entah apa pula maksudnya,
Mendapat serangan tak terduga. Leo yang sedari kemarin selalu mengambil posisi buncit, langsug mengambl langkah seribu secepat angin.Dalam sekejap Leo telah jauh di depan.Aku dan Toni -- sambil sekali menoleh ke belakang -- terpincang-pincang mengikuti Leo. Tampaknya antara orang FIAI denga babi memang ada semacam sentimen pribadi yang sulit dikompromikan.
Setelah merasa cukup aman, kami berhenti. Memperhatikan kelakuan hewan gemuk tadi. Ternyata, sekawan hewan gemuk tersebut, tak serius mengejar. Dari teknik berlari massalnya yang tidak lintang pukang. Lalu mendadak berhenti. Celingak-celinguk sebentar. Lantas kembali mengejar dan kemudian diakhirnya dengan kembali bercelingukan. Hewan ternak ini, tampaknya tak benar-benar bercita-cita menyeruduk kami. Mereka tak mengeluarkan kecepatan maksimalnya. Apalagi perilaku tak terpuji pemuda babi itu, yang di tengah aksi kejar massal tadi, sempat-sempatnya mengendusi pemudi babi. Mengirim isyarat cinta.
Kami bertiga rupanya tak dianggap predator. Kami bertiga yag mengenaskan ini, justru dianggap hiburan. sekaligus dimanfaatkan sebagai sarana asmara versi kesempatan dalam kesempitan. Kami telah tertipu mentah-mentah.
Akhirnya, setengah jam kemudian, barulah kami tiba di kampung “beneran”. Syukurlah, ada warung makan yang buka. Namun disini tak ada nasi putih. Yang ada hanya nasi jagung. Dari penjelasan pemilik warung, kami mengerti, nasi jagung disini bukanlah semacam hidangan unik sebuah acara wisata kuliner.
Di warung ini, nasi yang kami makud memang tak ada. Bahkan, mungkn tak akan pernah tersedia. Penduduk desa yang merupakan konsumen setia warung ini, tak terbiasa makan nasi beras, karena makanan pokoknya, adalah nasi jagung itu . Apa boleh buat. Tak ada rotan akar pun jadi. Nasi jagung ini boleh juga.
Sebaskom kecil nasi jagung yag tersisa di warung ini, kami bagi rata menjadi tiga bagian. Ikan asin kurus kering,bertulang banyak mirip sisir rambut, kami patahkan menjadi tiga keping. Lalu setelah disiram kuah yang rasanya tawar. Hidangan ini mulai kami sikat. Ternyata rasanya lumayan juga. Bahkan ketika dikunyah ada semacam sensai tersendiri.
Namun, tatkala ditelan, sensasi tadi berubah mejadi siksaan. Nasi jagung ini susah ditelan. Seret..Menelan sesuap saja, perlu kordinasi yang melibatkan semua elemen yang ada di dalam mulut, serta segala unsur dalam kerongkongan. Walhasil, menghabiskan setengah piring nasi jagung ini, sama dengan waktu tempuh seperempat perjalanan ke puncak Sindoro.
Hujan kemudian berhenti. Kami keluar. Melangkah pulang. Usai pulalah perjalanan kami ini. Perjalanan yang diawali dengan salah memilih jurusan bis. Lalu ketika ganti angkutan, justu kami terlalu awal turun. Makanan nasi berulam kerupuk di tengah Sindoro. Babak belur di perjalan turun. Lalu kesasar di peternakan babi dan “dimanfaatkan” penghuninya. Kemudian diakhiri dengan perayaan luar biasa menyantap nasi jagung yang sensasional. Perjalanan kami bertiga ini, benar-benar merupakan pendakian istimewa.
Mungkin, semua itu adalah harga yang pantas untuk sesuatu yang lebih menjanjikan. Sesuatu yang kemudian membuat Malimpa, “telah berpengalaman” mendaki Sindoro. Sehingga, ”Sabtu, kita jadi kesini”
Ketakutan Yang Sirna
Kamis. 1 Juni 1989. Pengurus dan panitia pendakian massal berkumpul di posko Malimpa. Pertemuan ini adalah checking terakhir ke Sindoro. Segala kesulitan dibahas. Dicari solusinya Kesiapan anggota Malimpa yang bakal ikut ke Sindoro dipantau. Segala yang kurang harus dipenuhi sekarang juga. Tak ada istilah tunda sampai besok. Bahkan, Toni dan Ansori, siang ini juga harus ke Temanggug mengurus perijinan yang belum diajukan.
Pendakian perdana terjauh Malimpa ini, tak boleh gagal. Apalagi sampai ada peserta yang terkapar tak berdaya di Sindoro. Jika hal semacam ini terjadi, Malimpa pasti akan jadi bahan tertawaan Nasional di UMS. Peristiwa resolusi Malimpa, masih melekat di benak banyak orang di luar Malimpa. Bahkan, masih menjadi konsumsi obrolan pro kontra setiap hari.
Jika acara pamungkas Dasawarsa ini berakhir memilukan, kredibiltas Malimpa “paradigma baru” ini, akan jadi bahan olok-olok yang bakal membuat pihak yang tak senang, akan bertepuk tangan kegirangan. Mereka hanya menunggu peluang. Pendakian massal ke Sindoro ini, adalah sasaran tembaknya.
Namun, yang lebih berat lagi, kegagagalan itu -- jika tejadi -- akan menimbulkan trauma berkepanjangan di Malimpa. Butuh waktu lama -- dan mungkin perlu melibatkan jasa ahli jiwa -- untuk membangkitkan rasa percaya diri bahwa, Malimpa berani mendaki gunung selain Merapi, Merbabu dan Lawu.
Jadi, sesederhana apapun konsep pendakian massal ke Sindoro yang dibuat Malimpa, haruslah bersifat rencana anti gagal. Itu mutlak. Tak bisa ditawar-tawar.
Akhirnya hari sabtu yang ditunggu-tunggu tiba. Sejak pagi, posko Malimpa, sudah ramai. Ada saja ulah anggota Malimpa. Bahkan, tadi mereka berebut barang yang di Malimpa. Piring plastik kotor, tempat minum yang hilang tutupnya, senter yang pecah kacanya. Semua disikat habis. Entah untuk apa.
Bahkan, jas hujan robek punggung yang telah berbulan-bulan, tergantung di balik pintu, sehingga menjadi rumah bersalin cicak beranak pinak, telah mereka perebutkan pula. Hasilnya, posko Malimpa benar-benar “Berseri”. Padahal kemarin sore, posko Malimpa masih mirip kedai barang loak yang telah berabad-abad tak dikunjugi pembeli. Ya, itulah anggota Malimpa, kalau tak tertawa sebentar saja, seolah-olah akan kena depresi berat
.Waktu teras merambat, namun hingga sejam lagi rombongan akan berangkat, Toni dan Ansori belum tampak. Nasib perijinan tak jelas. Beres apa terhambat. Peserta pendakian massal yang bersemangat itu, mulai tak sabar. Adrenalin mereka sedang mendidih. Bahkan, mereka mulai tak peduli, jika pendakian yang mempertaruhkan masa depan Malimpa ini, harus dilakukan tanpa ijin sekalipun. Pokoknya harus ke gunung.
Panitia -- setelah didukung semua peserta -- mengambl sikap bijaksana. Berangkat sekarang juga, tanpa harus menunggu Toni dan Ansori. “Kalau kedua sahabat kita itu bernasib baik, mereka pastilah menemukan kita di perjalananan.” Kira-kira begitulah alasan “bijak” tadi.
Menurut kedua sahabat kami yang ternyata “tak bernasib baik”, perijinan berbeli-belit dan baru usai agak siang. Mereka sempat berinisiatif menelpon interlokal ke kampus, untuk mengabarkan jika semauanya beres. Namun niat itu diurungkan. Uang yang tersisa tak mencukupi. Mengirim SMS, jelas mustahil bin ngawur. Ini tahun 1989. Teknologi seluler belum lahir ke dunia.
Keduanya kemudian memutuskan kembali ke kampus. Untuk menghemat waktu, motor digeber habis tanpa ampun. Untung tak ada turis Jepang yang melihat,. Kalau ada Dai Nipon itu, patilah bakal mengajukan protes remi ke Jakarta. Karena teknologi transportasi kebanggaan bangsanya itu, telah disiksa lahir bathin dengan cara yang sangat tidak motorsiawi.
Dengan laju motor secepat sambaran gledek itu, menurut Toni, kedua pihak ini harusnya bertemu walaupun, entah di daerah mana. “Masa orang satu bis penuh tak ada yang melhat kami?”, protes Ansori.
Tak satupun yang tertarik menanggapinya. Peserta pendakian massal, lebih memilih istirahat kecil-kecilan, sambil sesekali membereskan perbekalannya. Peserta pendakian massal barulah peduli, tatkala Toni dan Ansori mulai menceritakan perjuangan menyedihkannya, selama dua hari mengurus perijinan ini. Namun, peserta pendakian yang mulai menaruh perhatian itu, bukan untuk sedikit menyampaikan empati terhadap keduanya. Melainkan lebih kepada, “disetiap penderitaan teman sendiri, pastilah ada sisi lucu yang menarik untuk diterawakan bersama”.
Ketika juru cerita tersebut, mengisahkan kenekadannya tidur di teras masjid yang nyamuknya ganas-ganas. Juru dengar mulai tergigik-gigik. Lantas, ketika Ansori dan Toni nyaris ditabrak dari belakang oleh truk ayam -- karena ban motor pecah mendadak – Hadirin dan hadirat tak ada yang kasihan. Mereka justru tertawa kegiarangan. Semua yang mereka ceritakan ditanggap dengan tertawa. Termasuk ketika keduanya mendapati posko Malimpa yang sudah kosong melompong, mereka kemudian kembali ngebut, mengejar bis kampus dan dihardik polisi, karena menerabas lampu merah. Pendengar jutru semakin tertawa tebahak-bahak penuh kegirangan. Bahkan Menjeng yang pura-pura tidur, sembari menutupi wajahnya dengan jaket untuk menyembunyikan senyumnya, kali ini tak tahan menahan tawanya. Jaket dilemparnya. Ia tertawa keras. Badannya berguncang-guncang.
Tawa bahagia peserta pendakian, yang membahana hingga mampu mengusir keheningan di sekitar base camp, mulai berhent ketika jarum panjang pendek jam dinding berada pada titik angka sembilan. Isyarat semua peserta pendakian harus mulai bersiap memasang kuda-kuda mendaki Sindoro.
Sesuai skenario, maka usai berdo’a yang dipimpin Drs.Ilham Sunaryo, peserta pendakian akan digabung ke dalam dua kelompok besar. Lalu membentuk barisan panjang tak terputus. Kedua kelompok ini, akan disekat oleh tim kecil yang berfungsi sebagai penghubung.
Toni dan Wahid, beserta beberapa yang lain.di formasi paling depan. Sebagai kepala barisan, mereka berfungsi sebagai leader. Tim kecil ini, bertanggungjawab agar tak seorangpun peserta kesasar. Anggota tim leader ini, juga dilarang gampang terkejut. Bertemu Celeng sekalipun, mereka tak boleh kaget, karena jika kaget, Macan yang mengincar celeng pasti tersinggung. Keterseinggungannya itu, pastilah membahayakan jiwa raga peserta pendakian .
Kemudian, ditengah barisan, ada tim jangkar. Aku dan Eni putri, serta beberapa yang lain, tergabung disini. Tugas utama kami adalah mengatur ritme pendakian. Jika peserta dibelakang terlalu perlahan, maka kami akan berteriak kencang memperlambat barisan yang di depan. Begitu sebaliknya. Atas nama pengatur irama, kami dilarang pura-pura capek. Namun, diwajibkan tersenyum lucu buat menghibur jika ada peserta yang kelelahan.
Lalu di formasi ekor, diisi Leo dan kawan-kawan. Sebagai penutup barisan, anggota regu ini dilarang keras tergoda mendahului peserta. Jika ada peserta yang cedera, anggota regu ini, diwajibkan menungguinya hingga bantuan dari penyapu ranjau tiba. Jika evakuasi belum usai, anggota tim ini wajib sabar menanti tak peduli hujan badai datang menerpa. Kemudian – jika evakuasi usai – anggota tim ini, diwajibkan pula lari terbirit-birit, menyusul rombongan yang berada jauh di depan.
Agak terpisah di belakang regu sabar menanti tesebut. Ada tim kecil lagi yang berfungsi sebagai sweeping. Alias penyapu ranjau. Alias pula penjaring. Tim ini beranggotakan. Abah Yusuf, Menjeng, Mukti, Drs. Ilham Sunaryo. Medi. Lalu, Jesi, Lina dan Dwi Mardani.
Sebagai penjaring, tugas regu tua-tua keladi ini sangat mulia. Mereka antara lain berkewajiban merawat peserta cedera – operan dari tim penutup – hingga kondisinya membaik. Bahkan, bila diperlukan, anggota tim ini, akan mengantarnya hingga minimal ke tempat praktek Mantri desa terdekat. Anggota penyapu ranjau memang telah bersiap diri untuk tak sampai ke puncak.
“Yang penting kalian sampai ke puncak. Kibarkan bendera kita disana. Jangan pedulikan kami yang dibelakang. Kamilah yang akan memperdulikan kalian”. begitu pesan Dwi Mardani.
Senior Malimpa satu ini -- kami memanggilnya Mama -- memang berpembawaan lembut. Wajahnya keibuan. Hatinya tulus dan sangat mencintai anggota Malimpa. Anggota Malimpa juga sangat menyayanginya. Pengalaman panjangnya di Malimpa membuatnya disegani. Anggota Malimpa yang paling bengal sekalipun, akan mendadak berubah jadi anak manis jika ada Dwi Mardani. Pesannya, agar bendera Malimpa berkibar di puncak Sindoro, telah menjadi pemicu yang membuat semangat peserta pendakian, kian berkobar.
Malam ini, kondisi Sindoro sangat bagus. Tak ada gerimis, apalagi hujan. Dingin tidak benar-benar mengigit. Angin hanya bertiup perlahan. Nun di langit sana, kerlip jutaan bintang yeng membentuk konfigurasi aneka rupa, telah mengusir kepekatan malam. Bayang-bayang pohon di kiri-kanan rute pendakian, berubah menjadi siluet indah yang mempesona, dan ketika senter dipadamkan, jalur pendakian cukup jelas terlihat. Malam ini seisi alam seolah telah berikrar bersama, untuk memberikan yang terbaik kepada anggota Malimpa, untuk merajut mimpinya. Menggapai puncak Sindoro.
Dalam kitab Ilmu Pasti Mendaki Gunung. Di setiap pendakian selalu terdapat dua potensi bahaya yang mengancam pendaki. Bahaya yang bersifat objektif. Serta yang bersifat subjektif. Bahaya jenis pertama, adalah segala hal dari alam, yang dapat mengintai keselamatan pendaki. Umpamanya batu besar yang bergelindingan, Cuaca yang ekstrim dan lain sebagainya. Macam yang tersinggung masuk ke kategori ini.
Sedangkan bahaya jenis kedua, adalah segala rupa keteledoran dan kekurangsiapan si pendaki yang bersangkutan. Kesehatan yang amburadul. Jaket terlalu tipis atau bekal cuma kerupuk, umpamanya. Hal yang tampaknya sepele ini, dapat berubah mejadi ancaman yang tidak ringan. Salah satu akibatnya adalah, pendaki dapat mengalami gangguan suplai oksigen ke otaknya. Hipoksia. Gejalanya, si pendaki akan melakukan aktivitas yang diluar nalar sehat. Tertawa-tawa mirip orang kesurupan umpamanya dan sebagainya.
Melihat cuaca Sindoro yang bersahabat, tampaknya bahaya pertama tak lagi menjadi ancaman mengkawatirkan. Bahaya jenis kedua memang dapat saja datang mendadak. Namun semuanya sudah diantisipasi.
Peserta pendakian yang mayoritas adalah jebolan Diklarsar V, terus melangkah maju. Mendaki. Tak ada rona kekawatiran yang terlukis di wajahnya. Generasi muda Malimpa, dari Diklatsar episode terakhir ini, tampil penuh percaya diri dan tampak sangat menikmati pendakian ini, mulai dari kampus tadi hingga di tengah Sindoro ini. Mereka sangat bersemangat memperjuangkan cita-cita Malimpa. Keinginan kami semua. Sesuatu yang diraih melalui perjuangan, hasilnya akan selalu terasa lebih manis.
Melihat kondisi peserta pendakian yang masih bugar, bahkan hingga beberapa saat tiba di puncak, tampaknya, segala rencana telah terlakasana secara ideal. Memang ada yang sempat kedinginan, capek,tersengal-sengal dan selalu tergoda untuk istiahat, tetapi hal kondisi itu, bukanlah problem serius. Itu kondisi biasa di gunung. Karena itu pula, mendaki gunung justru menjad kegiatan penuh tantangan.
Perjuangan peserta pendakian massal Malimpa, berbuah manis. Menjelang malam berganti siang. Minggu 4 Juni 1989. Disaksikan surya pagi. Diiringi keabadian bunga Eidelweiss. Bendera Malimpa berkibar gagah di puncak Sindoro.
Sangat mengharukan.
Ada yang menangis. Meneteskan air mata haru berbaur bahagia. Namun, ketika semua peserta pendakian telah berkumpul di puncak, kesyahduan tersebut, mulai beringsut.
Peserta pendakian ini telah semalaman berjuang menaklukan dirinya sendiri untuk sampai disini. Tak ada salahnya, merayakan keberhasilan, dengan sedikit kegembiraan. Maka, keheningan puncak Sindoro pecah oleh kemeriahan. Kesunyian menjadi sesuatu yang langka.
Sayangnya, kebahagiann ini tak dihadiri oleh tim penjaring yang masih tertinggal dibawah sana. Namun, kabar yang kami sampaikan melalui udara sudah diterimanya. Mareka bahkan, telah menyiapkan caranya sendiri untuk merayakan kebahagiaan ini. “ Roger, monggo dilanjut, ganti!” teriak Menjeng penuh suka cita. Menjeng juga mengabarkan, anggota Mapala UMY ada disini
Enam hari lalu, sebelum peserta pendakan massal tiba di dataran tinggi yang bagian datarnya tak seberapa luas ini, Malimpa masih dirasuki ketakutan hebat, yang nyaris membuat rencana ke Sindoro gagal total. Itulah sebenarnya bahaya subjektif yang paling mendasar. Kalah sebelum berperang.
Tetapi pagi ini, di puncak yang sempat membuat Malimpa bergidik Peserta pendakian massal, yang sebagian besar, justru baru kali pertama ini mendaki gunung. aama sekali tak ketakutan. Mereka menikmati setiap detik dipuncak ini. Di pendakian paling menentukan masa depan Malimpa ini.
Seiring tiupan angin pagi puncak Sindoro, bendera kuning yang diikatkan pada cabang pohon itu, masih menari-nari dengan eloknya. Suaranya berkibas-kibas. Menyebabkan, debu-debu ketakutan yang telah sekian lama mengotori bendera kuning itu, berlepasan. Debu-debu ketakutan itu, kemudian berterbangan, tertiup angin. Entah pergi kemana.
Kegembiran yang lahir dari canda khas anggota Malimpa, terus berlanjut. Bahkan, belum ada tanda-tanda akan berakhir. Ditengah keceriaan itu, anggota Malimpa mulai melemparkan pandangan ke gunung Sumbing, yang letaknya berhadap-hadapan dengan Sindoro.
Gunungnya cantik. Panorama alamnyapun bagus Guratan-guratan yang menghias Sumbing menarik perhatian. Lalu, terdengar perbincangan kecil.
“Berapa ya, ongkos dari kampus ke Sumbing?”. tanya Nana kepada Lestari Bulek yang duduk disebelahnya. Yang ditanya menggeleng. Lestari Bulek justru menoleh kepada Intan. Isyarat singkat lempar pertanyaan memancing jawaban.
Intan hanya diam. Pandangannya masih terpaku pada warna biru Sumbing. Benaknya, dipenuhi oleh deretan angka yang berhias simbol baku matematika. Tanda tambah, kurang, bagi, lalu sama dengan. Intan masih kebingunan menggabungkan semuanya. Intan tak dapat menjawab isyarat Lestari Bulek. Karena, dia juga punya pertanyaan yang sama dengan dua sahabat tersayangnya itu
Ketakutan itu, rupanya tak menampakan dirinya lagi. Bahkan, ketika anggota Malimpa belum turun dari puncak gunung berbentuk stratovolcano ini. Keberanian telah lahir. Meyeruak masuk ke sanubari, lalu menjadi spirit abadi Malimpa yang tak akan luntur.
Kelak, bendera kuning itu, tak hanya akan yang berkibar di puncak Sumbing. Tetapi, akan menari perkasa di segala sudut kehidupan. Karena, ketakutan yang telah sekian lama memenjara diri Malimpa, telah pergi. Sirna bersama angin. Gone with the wind.

Ekspedisi Pantau Utara
Kesuksesan acara pamungkas Dasawarsa Malimpa, benar-benar membawa perubahan baru yang mencerahkan atmosfir di Malimpa. Anggota Malimpa tak takut lagi merencanakan kegiatan yang menantang bahaya. Memasuki libur semester ini, Malimpa berniat menggelar ekspedisi.
Rencana ini tentu masuk akal. Sebab, kebesaran sebuah perhimpunan pencinta alam, tidak hanya diukur dari deretan piala yang diraihnya. Melainkan, juga ditentukan oleh seberapa banyak mereka menggelar ekspedisi.
Malimpa belum tahu banyak tentang ekspedisi. Pengetahunnya baru sebatas teori yang belum dibuktikan keampuhannya. Langkah yang paling efisien mengerti ekspedisi, adalah dengan melakukan ekspedisi itu sendiri.
Sayangnya, jatah anggaran Malimpa tak banyak lagi. Kalaupun dipaksakan, juga tak bakal mencukupi. Mengharapkan uluran anggota Malimpa juga bukan langkah bijaksana. Anggota Malimpa – siapapun dia – sudah teramat sering mengorbankan rupiahnya buat mensukseskan acara Malimpa yang mereka ikuti. Jadi, kalaupun harus menggelar ekspedisi, haruslah yang bersifat efisien dan efektif. Malimpa sponsor utama dan peserta sponsor pendamping. Kondisi inilah yang kemudian, membuat Malimpa menggelar kegiatan berjudul, “Ekspedisi Penelusuran Pantai Utara Jawa Tengah”.
Hal lain yang menjadi pertimbangan Malimpa, menggelar ekspedisi yang berlangsung pada 8 - 6 Juli 1989 adalah, ekspedisi ini berbiaya kecil. Namun resiko celakanya cukup besar. Tidak memerlukan peralatan rumit. Serta tidak juga memerlukan latihan spesial. Pesertanyapun, tidak dituntut macam-macam. Bahkan, tidak harus lulus kualifikasi khusus dengan standar tertentu pula.
Syarat mengikuti ekspedisi ini, hanyalah berani malu. Siap tidak mandi-mandi. Tak bakal mengalami gangguan pencernaan, jika selama ekspedisi menyantap aneka makanan aneh, yang pasti dilarang ahli kesehatan mengkonsumsinya. Terakhir, tulang betis harus kuat dan dijamin tak akan retak, walaupun berjalan non stop selama sembilan hari Jepara -Rembang.
Ternyata, ekspedisi ini menarik minat banyak anggota Malimpa. Dari delapan “kursi” yang disediakan, pesertanya membengkak menjadi sembilan orang. Kesembilan orang itu adalah, Lumadiyana alias Genter, Eni Putri dan Lestari Bulek, ketiganya FKIP. Kemudian Toni dan Ansori.Kancil, keduanya Teknik. Lalu Puput Psikologi. Terakhir Falih NH, Sugiyarto dan aku sendiri, kami bertiga dari Ekonomi.
Sesuai agenda ekspedisi, Keberangkatan tim akan diantar oleh anggota Malimpa -- naik bis kampus -- hingga ke titik start di Pantai Kartini Jepara. Lantas, usai acara pelepasan yang dipimpin Medi, rombongan penggembira akan balik ke kampus. Sedangkan peserta ekpedisi bermalam di pantai ini, memanfaatkan stand milik tukang arum manis.
Esoknya, usai subuh tim ekspedisi mulai bergerak. Baru berhenti menjelang maghrib, dimanapun berada. Lantas, mendidirkan tenda putih blacu, tempat kami berlindung dari angin laut. Proses ini, terus berjalan mulai dari titik start, lalu ke Bugel. Lantas memasuki Benteng Portugis. Kemudian ke Tayu, dilanjutkan ke Juwana hingga memasuki garis akhir di pantai Kartini Rembang.
Dalam rentang sembilan hari tersebut, tim eskpedisi hanya berhenti agak lama di daerah Pati. Seorang peserta ulang tahun. Berhari jadi di tengah ekspedisi bukanlah sesuatu yang sering terjadi. Kami berdelapan sengaja beristirahat sedikit lebih lama, buat memberikan kebahagian kecil, kepada sahabat tersayang kami yang berultah, Puput.
Boleh dikata ekspedisi ini tak menemui hambatan mematikan. Kalaupun sempat berkali-kali terjebak lumpur pantai utara, atau nyaris dipatuk ular laut yang berbisa, justru itulah yang membuat ekspedisi ini bermakna.
Banyak hasil yang dapat dipetik dari ekspedisi ini. Dari sudut “ilmiah” umpamanya Ekspedisi ini tergolong sukses, karena telah memberi banyak pengetahuan tentang berbagai hal di pantai utara. Anggota tim ekspedisi ini, menjadi semakin hapal luar kepala bahwa, jika lubang ozon kian sobek, maka pihak pertama yang akan merana berkepanjangan, adalah masyarakat yang tinggal di pesisir. Tambak udangnya, rumah dan kebun kelapanya, akan terendam air laut yang pasang.
Dipandang dari segi kesehatan dan perkembangan mental, ekspedisi ini juga sangat membanggakan. Tak seorang pun dari sembilan peserta yang menderita muntaber. Terserang jamur kulit, atau mengalami patah kaki. Bahkan, yang lebih menggembirakan lagi, kesembilan peserta ini, sama-sama merasa lebih hitam legam dari sebelumnya. Serta sama-sama merasa lebih berani malu.

Diklatsar Model Baru
Agustus 1989. Malimpa mendaki gunung Sumbing (3371 m). Pendakian massal ini mengambil rute Reco, Kledung, Wonosobo. Semua peserta berikut tim penjaringnya, sampai ke puncak. Kemudian beberapa minggu usai ke Sumbing. Malimpa merencanakan kegiatan yang tak main-main, ekspedisi panjat tebing ke bukit Serelo dan mendaki gunung Dempo (3150 m) di Sumatra Selatan.
Namun – walaupun proposal telah dibuat – ekspedisi ini diurungkan. Setelah diperinci lebih seksama, peralatan baru yang dibutuhkan, ternyata sangat bayak. Pihak kampus pun, belum bersedia lagi mengucurkan dana buat peralatan baru Malimpa.
Pembatalan itu, justru membuat anggota Malimpa kian rajin berlatih. Namun, kegiatan di sektor lain juga tetap dilakanakan. Bahkan pada 29 Oktober 1989. Malimpa mengadakan “Pengajian Akbar dan Khitanan Massal”. Di wilayah Kecamatan Tanon Sragen.
Di acara yang dimakudkan sebagai peringatan isra’mi’raj ini, Malimpa bekerja sama dengan PCM Tanon Sragen, yang bertindak sebagai tuan rumah. Pengajian akbar diikuti oleh warga Muhammadiyah setempat, serta beberapa pejabat Pemerintahan di Tanon. Sedangkan yang bertindak sebagai penceramahan adalah PR III UMS. Drs. Marpuji Ali.
Sunatan massal diikuti oleh hampir 25 siswa SD. Dari berbagai desa di Tanon. Sebelum dikhitan. Semua bocah tersebut, dikirab keliling kampung. Diringi drum band SD Muhammadiyah Tanon. Setiap peserta dihadiahi baju muslim, peci, sarung, pensil buku tulis, serta uang jajan.
Keberhasilan Malimpa menyelenggarakan kegiatan di ranah sosialnya serta dibidang lain, membuat cakrawala pemikiran Malimpa kian meluas jauh. Kali ini, yang dilakukan adalah perombakan besar-besaran Diklatsar. Karena, sesuai tuntutan jaman, model pendidikan dasar dua hari longmarch dari desa ke desa, sudah ketinggalan jaman.
Materi dan methode Diklatsar kali ini, keren dan ‘sangat pencinta alam”. Materi tersebut diantaranya adalah, Pengetahuan Mendaki Gunung, Panjat Tebing, SAR, IMPK, PPPK, Teknik Survival, Pembuatan Bivak dan evakuasi korban.
Kemudian ditunjang dengan materi tambahan yaitu, Al Islam Kemuhammdiyaan. Pengetahauan Organisasi. Malimpa Sekilas. Serta Methode Penelitian Sosial. Pradiklatsar ditiadakan. Dinilai, cuma buang energi untuk sesuatu yang akhirnya mubazir.
Areal Diklatsar dibuat terpusat di satu titik, Lapangan Gondosuli. Sedangkan lokasi materinya adalah Jurang Jumo. Serta hutan dan bukit di kawasan desa Gondosuli. Tawangmangu. Peserta akan tiba disini, usai mengikuti materi kelas. Kemudian dilanjutkan mengkuti praktek lapangan di areal ini. Usai semua materi lapangan tersebut, Materi Diklatsar disambung dengan longmarch. Dimulai dari lapangan Gondosuli menuju kampus UMS Karang Anyar. Kemudian bermalan disini. Besoknya dilanjutkan menuju Kampus UMS Pabelan.
Medan loncmarch dibuat variatif. Melintasi perbukitan dan menelusuri sungai. Juga merambah hutan, melintas pematang sawah. Serta hanya sedikit melintasi jalan beraspal di pedesaan. Instruktur Diklatsar, diseleksi ketat dan dipersiapkan secara matang. Kemudian, ditempatkan berdasarkan kemampuannya menguasai materi tertentu.
Terpilihnya Jurang Jumo, Gondosuli, ada sedkit ceritanya. Ketika konsep Diklatsar telah usai digodok. Malimpa masih kesulitan mencari lokasi yang tepat dengan konsep tersebut. Dari beberapa lokasi yang sempat ditinjau, ternyata belum memenuhi standar yang dibutuhkan.
Ditengah pencarian itu, UKM Racana UMS, akan mengadakan latihan khusus menghadapi suatu kegiatan penting. Mereka kemudian, meminta bantuan Malimpa melatih anggotanya. Lokasinya di Jurang Jumo, Gandosuli. Malimpa kemudian mengutus Toni, Ipunk, Genter dan aku sendiri. Disinilah kami menilai, bahwa lokasi ini cocok dengan konsep Diklatsar, yang akan diterapkan Malimpa mulai Diklatsar VI. Awal 1990.
Dengan Diklatsar gaya baru, diharapkan, nantinya setiap anggota Malimpa benar-benar menjadi figur yang jago dijagat pencinta alam. Berintelektual baik. Berwawasan lingkungan. Kemudian berjiwa mandiri. Serta, peduli kepada sesame dan mudah-mudahan pula, seumur hidup rajin ibadah.
Usai menyelenggarakan Diklatsar VI. Malimpa kemudian mengirim Puput dan Ipunk, mengikuti The Great Camping V Mapala UMY. Ditengah kepergian kedua sahabat kami tersebut, Malimpa kemudian menggelar suksesi pertama pasca Resolusi Acara ini bernama Ratama. Atau Rapat Tahunan Anggota Malimpa. Bukan lagi Musker atau Musyawarah Kerja.









Bagian Ketiga
Mental Juara

Menuntaskan gunung Jawa Tengah
Estafet kepemimpinan Malimpa, selanjutnya berpindah ke M. Toni Andi Astanto atau Toni. Yang aku kagumi dari sahabat kami ini adalah, karakter khasnya yang penuh percaya diri, sedikit keras kepala, cenderung tak bias diam. Sedikit romantis. Lucu juga dan rela berkorban untuk jadi bahan tertawaan kami semua.
Bersama dengan Puput -- yang terpilih ketika masih mengikuti GC V Mapala UMY -- pada posisi Sekretaris Umum. Intan di Ketua Bidang II. Serta beberapa nama lainnya, Toni dan kabinetnya, akan memimpin Malimpa periode masa bhakti 1990-1991.
Pada periode ini, anggota Malimpa aktif sangat banyak. Anggota lama masih sangat setia. Alumni Diklatsar V. Mulai memasuki lapisan penting di Malimpa. Sementara jebolan Diklatsar VI. Mulai berani unjuk gigi, unjuk kebolehan dan juga unjuk “kebandelan”.
Semangat petualang mereka menggebu-gebu. Mereka juga kaya ide aneh dan motivasinya buat maju, sangat tinggi. Soal kecintaanya ke Malimpa, tak usah diragukan, 24 karat murni semua. Bahkan, cenderung fanatis.
Sekarang medan latihan Malimpa, mulai menjadi tak memadai lagi. Tak cukup sekedar simulasi di tembok griya mahasiswa. Bahkan, areal Makam Haji dan Karang Lo, dipandang juga tak memadai lagi. Anggota Malimpa perlu medan latihan baru, dengan tingkat kesulitan variatif dan tantangan yang lebih yahud. Inilah yang kemudian membuat anggota Malimpa, mulai latihan di Wonogiri, Klaten, hingga ke tebing di kawasan pantai selatan Jogjakarta.
Pada periode ini, Diskusi mingguan tetap lancar. Themanya pun semakin melebar, hingga merambah ke masalah lingkungan hidup, serta ekonomi sosial masyarakat pedesan di lereng gunung.
Memeriahkan hari jadi Malimpa ke 11. Malimpa periode ini, menggelar juga tiga kegiatan sekaligus -- sebenarnya empat kalau tumpengan dihitung -- yaitu, Pendakian ke gunung Slamet (3428 m). Ekspedisi Penelusuran Pantai Utara Jawa Tengah 2. Lalu, latihan gabungan bersama Mapala UMY. Di Bebeng Jogjakarta.
Yang mengikuti Pendakian ke gunung Slamet, diantaranya adalah Toni, Taufik Kebo Ekonomi dan Agung FKIP. Tim ini mengambil jalur Bambangan Purbalingga. Keberhasilan sahabat kami ini, sangat membanggakan anggota Malimpa, karena dengan berkibarnya bendera Malimpa di puncak gunung tertinggi se Jawa Tengah, berarti Malimpa telah menuntaskan pendakiannya di semua puncak berketinggian 3000 lebih se-Jateng. Keberhasilan ini membuat anggota Malimpa, mulai mengarahkan sasarannya ke gunung di lain provinsi.
Sedangkan anggota tim yang dipercaya melaksanakan “Ekspedisi Penelusuran Pantai Utara Jawa Tengah 2”. Diantaranya adalah Sumantri AW alias Goang Teknik dan Widi Berintik Geografi. Ekspedisi yang memang dimaksudkan sebagai lanjutan Ekspedisi Penelusuran Pantai Utara Jawa Tengah, tahun lalu. Memulai perjalanan dari pantai Kartini Rembang. Lalu merambah wilayah pantai Tanjung Bendo. Kemudian Bulu. Lantas Tanjung Amarawa dan finish di pantai Tuban.
Sama seperti ekspedisi jilid I. Tim ini juga berjalan kaki non stop, mulai dari titik start hingga ke finish. Merka hanya beristirahat di sembarang tempat jika senja tiba. Lalu mendidirikan tenda blacu putih. Kemudian besok, usai subuh jamaah, perjalanan dilanjutkan.
Ekspedisi ini, juga berhasil sesuai dengan target. “ Justru di ekspedisi inilah aku tahu banyak tentang vegetasi, serta hukum alam yang berlaku di setiap siklus kehidpan pesisir“, begitu sahabat kriting kami Widi, menggambarkan keberhasilan ekspedisi yang diikutinya bersama anggota muda Malimpa lainya.
Yang mengikuti Latihan Gabungan Malimpa UMS – Mapala UMY, sangat banyak. Satu bis penuh. Pada Latgab yang dikordinir Ipunk, terlihat jelas, kedua saudara ini mempunyai potensi besar di bidang panjat tebing alam.Potensi ini, jika dikembangkan lebih maksimal, pastilah akan berbuah prestasi hebat.
Hubungan Mapala UMY – Malimpa UMS, sangat akrab. Bahkan, mengundang kekaguman civitas akademika kedua kampus. Agar keakraban ini tetap lestari, sehingga gairah berbagi ilmu tak pernah kendur, ajang semacam ini, harus sering dilakukan. Syukur-syukur bisa melibatkan Mapala lain, di lingkungan Muhammadiyah. Dengan begitu, bukan tak mungkin, guyonan sederhana menyatukan Mapala PTM se-Indonesia bisa kesampaian.
Rekor Baru
Pertengahan Juli, Malimpa kembali mendapat undangan dari Arpacche Kediri. Mereka mengharapkan keikutsertaan Malimpa pada L3B ke V. Sebelum memutuskan mengirim tim, beberapa anggota Malimpa, sempat tak tega terhadap anggota yang bakal dikirim kesana. Karena Malimpa yang telah menduduki tahta juara L3B seri II, III, IV. Dikawatirkan menjadi beban psikologis tersendiri bagi anggota regu Malimpa. Sehingga tim Malimpa tak akan tampil pada form terbaiknya. Nama Malimpa, yang sudah amat dikenal, bisa saja membuat tim Malimpa menjadi “incaran” peserta lain.
Namun, seiring, waktu perasaan sesaat itu, pupus.Tahta juara justru membuat anggota kontingen Malimpa tambah tertantang. Bahkan mereka tak sabar ingin segera bertempur habis-habisan di lomba tersebut.
“ Tak ada yang merasa terbebani”, ujar Lestari Bulek. Bahkan, lanjutnya menjelang berangkat, semua anggota tim ingin segera tiba di Kediri. “Agar cita-cita kami buat menambah piala di Malimpa segera tercapai”, ujar Lestari Bulek.
Cita-cita tersebut, benar-benar terwujud. Bahkan, melebihi dari target semula. Kontingen Malimpa yang terdiri dari Laras Hukum, Nana dan Lestari Bulek di Regu Putri. Lalu Regu Campuran A yang beranggotakan Slamet, Intan dan Eni Putri. Regu Campuran B yang antara lain berisi Puput dan Ponco. Serta Regu Putra, yang antara lain berisi Agus NH dan Wasiri. Benar-benar tampil trengginas dan percaya diri.
Tim Putri Malimpa juara I. Tim lain juga menang. Sehingga total jendral piala yang didapat diajang tahunan ini ,berjumlah satu piala besar dan dua piala berukuran sedang. Serta dua penghargaan.
Keberhasilan tersebut betul-betul surprise. Bahkan, memecahkan rekor Malimpa sendiri selama mengikuti L3B. Rekor ini, pastilah sukar dipecahkan tim manapun.. “Rekor ini agaknya, hanya mampu dipecahkan oleh Malimpa sendiri” Begitu komentar sahabat kami Wasiri. dengan nada merendah.

Akrab Penuh Hormat
Keakraban anggota Malimpa sangat mencolok. Mereka sering makan bareng di warung belakang kampus. Disana, anggota Malimpa biasanya bergerombol di satu meja. Lalu sambil menyantap makan siangnya, mereka mulai bercanda, cekikian, lalu terbahak bersama. Di warung makan manapun, jika ada gerombolan Malimpa, suasananya pastilah mendadak ceria. Malah, tak jarang pengunjung lain dan pemilik warung ikut tertawa bersama.
Nonton konser rock, mereka juga bareng. Pulang balik kuliah, sering pula bersama-sama. Apabila ada yang sakit, anggota Malimpa akan membesuk bersama. Bahkan, jika ada waktu senggamg -- karena urusan Malimpa usai -- mereka sering terlihat nonton bareng, di bioskop murahan di Kartasura.
Begitu halnya, jika ada masyarakat yang membutuhkan darah. Anggota Malimpa akan berangkat bareng mendonorkan darahnya secara cuma-cuma.. Kebiasaan anggota Malimpa menjadi pedonor, sudah dikenal hingga keluar tembok UMS. PMI Surakarta saja, jika kekurangan golongan darah tertentu, sering menghungi Malimpa.
Walaupun sering bareng, bukan berarti Malimpa ingin eksklusif. Anggota Malimpa, tak pernah menutup diri dan membatasi lingkup pergaulannya. Kebersamaan di Malimpa tak pernah jadi ancaman pihak manapun. Inilah yang antara lain membuat hubungan Malimpa dengan UKM lain di UMS. Tak pernah retak.
Keakraban itu, juga menimbulkan rasa rindu antara sesama anggota dan itu pula yang menyebabkan muka-muka lama, selalu hadir di Malimpa. Yusuf Subandrio umpamanya. Mahasiswa FKIP ini, bergabung ke Malimpa tatkala Malimpa belum mengenal budaya latihan dasar. Saking “tuanya” bergabung ke Malimpa, Yusuf Subandrio kemudian dipanggil Abah.
Setiap Malimpa ada acara, Abah Yusuf datang. Bahkan , di Diklatsar lalu, Abah Yusuf, tengah malam ke Gondosuli. Carter ojek. Hanya untuk berbagi rindu dengan adik-adiknya di Malimpa.
Menjeng juga hampir setiap hari beredar di Malimpa. Dia tak pernah sungkan bercanda dengan anggota muda Malimpa. Dia juga tak pernah malas terbahak-bahak, karena diapun sebenarnya, lucu. Dia pun, sering memberikan konsultasi gratis psikologi ke anggota Malimpa. Tetapi, hanya di level sederhana. Kalau sedikit gawat, Menjeng pasti angkat tangan. Bukan karena tak lulus-lulus mata kuliah konseling. Melainkan dia juga tak kalah “gawatnya”.
Muka sedikit lama, juga tak kalah rajinnya ke posko Malimpa. Kehadiran mereka juga dinantikan. Jesi umpamanya. Alumni Diklatsar III ini, grafik kehadirannya, juga tak pernah menurun. Kedatangannya ke posko Malimpa, selalu diharapkan, karena si tomboy cuek ini, punya bakat istimewa yang membuat anggota Malimpa senang, yaitu pandai memberi nama baru kepada seseorang. Bakat fenomenal ini, terus dipupuknya hingga beberapa tahun ke depan. Sehingga Malimpa yang sudah aneh, jadi tambah nyentrik.
Lina dipanggilnya Lintul. Medi dipangilnya Medul. Listina diubahnya Listimbul. Purwadi diubahnya Ipunk. Genter disulapnya jadi Genteng. Sukron disingkatnya MBS. Ma’ruf digantinya Macrut.
Nama lain yang sudah beredar tetapi belum ngetop. Maka, kalau yang mulai memanggil Jesi, dijamin pasti langsung top hit. Ini yang kemudian membuat Malimpa mirip kebun binatang. Toni dipangil badak. Wasiri jadi Wasinga. Nana dipanggil Cindil. Slamet jadi Minti. Ardian dipanggil Percil. Nanik Jadi Genjik. Ansori berubah menjadi Kancil dan Ulil jadi Oskar.
Sedangkan nama lain ada juga yang diorbitkan Jesi. Namun, tak mirip penghuni taman fauna. Hanya seperti nama pawangnya saja. Saiful dipanggilnya Kempling. Lestari mendadak berubah jadi Bulek. Puput ngetop dipanggil Biting. Bahkan, namaku yang menurutku berkelas inggris itu, kadang-kadang diubahnya menjadi Cetun.
Karena nama alias itu, yang akhirnya lebih ngetop. Lama-lama, anggota Malimpa sering lupa nama asli sahabatnya sendiri. Sehingga nama-nama aneh bin ajaib itulah, yang sering terpampang disusunan panitia, yang dilampirkan pada undangan kegiatan Malimpa.
Bisa jadi kehadiran undangan tersebut, sebenarnya hanya untuk melihat “Singa”. Memberi makan “Badak”. Menakut-nakuti “Kancil”. Latihan menguber “Genjik”. Atau ingin membasmi “Cindil”.
Atau mungkin juga, kehadiran undangan tadi hanya untuk mencari, “Biting”. Agar bisa “Listimbul”. Sehingga tidak “Macrut?”. Entahlah.
“MBS”. “Lintul” dan “Medul”, juga rajin berat ke Malimpa. Namun, seakrab-akrabnya anggota Malimpa, ada batas-batas abstrak yang selalu dijaga. Walaupun di Malimpa, tak ada peraturan yang mengharuskan yang muda wajib hormat kepada yang tua, atau sebaliknya. Namun, masing-masing pihak sadar posisinya. Sikap hormat tetap dijunjung tinggi.
Inilah salah sisi menarik di Malimpa. Sehinga anggota Malimpa yang lebih tua, tak pernah malu belajar teknik panjat tebing ke anggota yang lebih muda. Sementara, yang muda – dengan disiplin tinggi dan professional – selalu membagi ilmu kepada kakaknya, tanpa ada rasa congkak.
Tua muda bahagia. Tak ada yang direndahkan. Perilaku “akrab tanpa mengurangi rasa hormat”, tak sekedar berlaku ke sesama anggota. Namun, berlaku pula kepada pembinanya. Drs. Ilham Sunaryo.
Di mata anggota Malimpa, dosen FKIP ini, lebih dari sekedar seorang Pembina Malimpa. Pak Ilham adalah teman yang baik . Sahabat yang mengagumkan. Orang tua yang penuh perhatian. Pak Ilham -- anggota Malimpa memanggilnya Papa -- tak pernah keberatan, waktunya lebih sering habis buat anggota Malimpa. Beliau pun, tak mengeluh rumahnya sering dijadikan posko kedua Malimpa.
Pengorbanan pak Ilham untuk Malimpa, sukar dicari bandingnya. Bahkan, jika mendapat insentif dari UMS, untuk pak Ilham mengiringi kegiatan Malimpa di luar UMS. Insentif tersebut, sering hanya numpang lewat dikantongnya. Karena kemudian, langsung dibagikannya ke anggota Malimpa yang lebih memerlukan. Sementara dia sendiri, merogoh koceknya pribadi.
Namun -- itu tadi -- Pak Ilham, tetap menghormati anggota Malimpa sebagai generasi muda, yang perlu berkembang. Pak Ilham tak pernah memaksakan kehendaknya dalam bentuk apapun. Anggota Malimpa, juga sangat menghormati beliau. Sekoboy-koboynya anggota Malimpa, pasti patuh ke Pembinanya.
Begitu juga dengan mas Mukti. Ketiga dia masih ada, dia rajin ke Malimpa. Namun, beliau tak akan pernah ke Malimpa lagi. Mas Mukti yang rajin ibadah itu, meninggal dunia di bulan Ramadhan. Saat itu kampus sedang sepi. Ketika mas Mukti membangunkan warganya di Windan Makam Haji, untuk sahur. Mendadak, di tengah aksi sosial pribadi rutinnya itu, jantungnya sakit. Namun, setelah dibawa ke rumahnya, nyawanya tak tertolong. Mas mukti pergi, meninggalkan orang yang mencintainya.
Mas Mukti adalah figur besar yang sangat disegani di Malimpa. Resolusi Malimpa tak akan pernah ada, jika tidak mendapat restu darinya. Mas Mukti, adalah pribadi yang sangat menyenangkan. Kehadirannya selalu membuat aura di Malimpa terasa tentram, “Saya selalu merasa tenang jika ada mas Mukti”, begitu Bani Sukron melukiskan mas Mukti.
Mas Mukti “memilih” kepergiannya di Ramadhan. Disaat posko Malimpa sepi. Ia -- seperti biasanya – tak ingin merepotkan adik-adiknya. yang ia sayangi. Malimpa sangat kehilangan figur besar tak tergantikan ini. “Selamat jalan kak”.

Mental Juara
Perbaikan kecil, perubahan besar atau menerapkan ide baru. Sangat mewarnai Malimpa periode ini. Begitu halnya perkara mengikuti lomba, Malimpa sekarang mulai lebih selektif. Malimpa hanya akan turun di lomba bergengsi. Anggota yang akan dikirimpun, diseleksi sangat ketat. Bahkan, akan dipersiapkan secara terencana melalui Pemusatan Latihan atau Training Centre (TC).
Sikap selektif tersebut, bukan karena Malimpa mulai jual mahal. Tetapi, lebih disebabkan faktor intern. Karena Malimpa sering juara, anggota Malimpa lambat laun bermental juara. Mereka justru akan tampil pada level terbaiknya, jika bertarung di arena berskala besar, dengan peserta tangguh dari klub-klub ternama. Kemampuan anggota Malimpa di bidang ini juga merata. Padahal tak mungkin mengirim tim secara kolosal.
Faktor lainnya adalah untuk menjaga pamor Malimpa yang hampir disetiap kejuaraan semacam ini, selalu menjadi tim favorit juara.
Bila Malimpa sudah memutuskan mengikuti suatu lomba. Pengurus akan membentuk komite kecil yang bersifat independent. Komite ini -- disebut tim TC -- bisa beranggotakan lebih lima orang, dengan konsentrasi tugas berlainan.
Secara umum, tim TC bertangungjawab membuat model standar seleksi calon anggota tim. Lalu merencanakan program latihan. Mengajarkan teknik memenangi lomba secara elegan dan sportif. Merancang strategi perlombaan. Serta memantau kesehatan anggota regu Malimpa.
Tim TC juga bertanggungjawab terhadap semua keperluan kontingen Malimpa. Mulai dari mengurus ijin kuliah. Mencarikan seragam. Menyiapkan logistik dan lain sebagainya. Bahkan, hingga antar jemput pulang.
Sebagai langkah awal kerjanya, tim TC akan membuat pengumuman terbuka. Yang mendaftar kemudian diseleksi melalui tes fisik. Dalam seleksi awal ini, mulai banyak yang bertumbangan. Bahkan sering diluar perkiraan.Contohnya pada seleksi tim ke Unsoed. Marto Dayat, umpamanya. Sedari awal dia dijagokan lulus menjadi tim Malimpa. Namun pada seleksi awal, justru langsung tumbang.
Sebaliknya Mulyati dan Neti. Mereka berdua malah diragukan dapat bersaing dengan anggota Malimpa yang lebih muda. Justru pada seleksi, tampil luar biasa. Bahkan, kedua alumni Diklatsar III ini, menjadi tenaga inti tim Putri Malimpa.
Jumlah yang lulus seleksi awal, dibuat sedikit melebihi jumlah personil yang dibutuhkan. Dipersiapan lomba ke Purwokerto umpamanya. Jumlah regunya, adalah lima. Yang lulus seleksi awal, berjumlah enam orang. Lalu, karena Malimpa akan mengirim dua regu, maka yang lulus tahap awal ini, berjumlah 12 orang.
Yang lulus seleksi diwajibkan mengikuti semua materi TC. Yang absent langsung dicoret tanpa ampun. Materi yang disampaikan pada TC, banyak. Misalnya kiat menghancurkan formasi barisan lawan di tengah sungaI. Jurus menuruni tebing licin sambil mendahului lawan. Berjalan cepat tetapi tidak tampak tergesa-gesa dan sebagainya. Semua materi yang diajarkan tersebut, tetap mengacu kepada kaidah-kaidah lomba yang berlaku secara umum.
Areal TC. Dicarikanyang mirip dengan medan lomba yang akan diikuti. Setelah mengikuti semua metari TC. Calon anggota tim, kembali diseleksi. Yang lebih ditekankan pada seleksi akhir ini, adalah factor psikologis individu. Misalnya mental tarungnya. Tingkat emosinya dan sebagainya.
Peserta yang lulus, ditetapkan sebagai anggota tetap tim Malimpa. Sedangkan yang batal ikut, menjadi pasukan cadangan. Cadangan harus ada, karena bisa saja, menjelang berangkat, ada anggota regu yang mendadak operasi usus buntu umpamanya.
Lamanya TC. Bisa satu minggu. Walaupun lomba yang dikuti sebenarnya hanya tiga hari.
Hasil TC, ternyata bagus. Pada Lomba Napak Tilas Penghayatan Sejarah Perjuangan VIII -- yang merupakan pilot project TC -- Tim putri Malimpa yang terdiri dari Neti dan Mulyati FKIP. Handayani D3 Karang Anyar. Nana dan Assa Otorida Elhakim dari Ekonomi. Berhasil mempertahankan posisi Malimpa sebagai juara pertama kategori putrid. Namun, karena jumlah nilainya kurang untuk masuk ke penghitungan Juara Umum, tim Putri Malimpa, tak berhasil mempertahankan thropy Menpora RI. Yang diraih pada tahun 1988. Era kepemimpinan Sugeng Maryono.
Sedangkan tim putra yang beranggotakan Slamet, Ipunk, Wasiri dan Photing dari FKIP, lalu Yusuf Wibisono dari FIAI.. Tak berhasil. Namun kegagalan tim putra ini, bukan karena kalah bersaing. Melainkan lantaran kesalahan mengikuti tanda jejak yang konon sengaja dirubah oleh oknum tak bertanggungjawab. Fatalnya, peristiwa ini terjadi beberapa puluh kilometer menjelang finish hari terakhir.
Dengan model pemusatan latihan yang didukung mental juara. Maka tak heran, disemua ajang kejuaraan, tim Malimpa berikutnya, selalu menjadi peserta yang sulit ditandingi.

Surat Wasiat
Untuk menyiapkan generasi yang nantinya meneruskan prestasi Malimpa. Maka memasuki masa penerimaan anggota baru, pengurus Malimpa mengadakan evaluasi terhadap keberhsilan Diklatsar lalu. Dengan evalusi ini diharapkan pelakasanaan Diklatsar VII kali ini, akan lebih bagus.
Rute longmarch disepakati dibuat lebih jauh. Trayek beraspal di desa-desa dipangkas, diganti jalan Makodam. Usai sholat maghrib di Gondosuli,diisi dengan kerohanian, hingga waktu isya tiba.
Materi pokok ditambah dengan materi Penanggulangan Hewan Berbisa. Komposisi ular yang dijadikan contoh kasus adalah jumlah ular tak berbisa sedikit. Sedangkan yang berbisa lebih banyak. Serta ular berbisanya, harus berukuran besar dan masih buas. Setiap peserta yang tak takut kepada ular. Akan mendapat bonus, berupa photo close up bareng ular yang dikalungkan ke lehernya.
Untuk menciptakan suasana religius, peserta yang akan menjalankan materi survival, diharuskan menulis surat wasiat, yang bersisi pesan terakhir, yang ditujukan ke ahli warisnya. Karena bisa saja, dalam materi bertahan hidup di alam bebas ini, peserta mengalami hal mengerikan yang berakhir mengenaskan.
Evaluasi tersebut, juga menyepakati bahwa niat baik Mapala UMY untuk mengirim anggotanya mengikuti Diklasar Malimpa. Dengan berat hati, belum bisa dipenuhi. Karena sesuai AD/ART . yang dapat mengikuti Diklatsar, hanya mahasiswa UMS. Sedangkan D3 Karang Anyar tak masalah, mereka adalah keluarga besar UMS.
Semua hasil evaluasi yang kemudian diterapkan pada Diklatsar VII. Rata-rata berhasil optimal. Yang luput dari target justru surat wasiat.
Selembar surat wasiat yang entah siapa pembuatnya, umpamanya. Wasiatnya dibuka dengan kalimat menyedihkan., “ Jika aku mati di Gondosuli, carilah lelaki lain”, tulisnya.Wasiat yang dibaca secara ekspresif oleh Handayani membuat instruktur dan panitia yang mendengar, sejenak terdiam. Si penulis wasiat, pastilah pria berhati salju pendamba asmara klasik Romeo Juliet.
Pendengar tak sabar menanti kelanjutannya. Handayani lalu membacanya sampai habis. “Namun, jika anakmu lelaki, beri nama lengkapku. Sedangkan jika perempuan, beri nama depanku. Tambah huruf A diujungnya”. Wasiat itu, kemudian diakhiri dengan bahasa inggris sederhana. From me, Sigit Sutiyono.
“Ini bukan surat wasiat. Rayuan gombal sok romantis”. Kata Yudi Teknik.
Kemudian surat wasiat yang tampaknya dari anak Ekonomi. Pesan terakhirnya, diawali dengan kalimat penuh perhitungan khas anak akuntansi. Dari kalkulasinya itu, tampaknya si pewasiat, gampang menambah, pandai mengurangi, namun malas membagi. Lalu di bawah hasil hitungan, dia menulis dengan sedikit merajuk tapi penuh pengharapan agamis,. “Itulah jumlah hutangku. Segera lunasi. Aku tak mau masuk neraka jahanam”. Dibawahnya ada tandatangan dan secarik nama: dari kakanda Tono Tobang.
“Dasar tukang ngutang. Biarin aja masuk neraka”.
Surat wasiat lainnya yang dibuat Inung, Saiful, Woni, Agus Suroyo, Arifin Tompel. Tak beda Jauh. Sama-sama tak menimbulkan efek dramatis materi survival. Justru surat wasiatnya, lebih mirip surat gadai. Tidak mencerahkan masa depan orang lain. Bahkan, malah membuat para pewaris, tak bergairah melanjutkan hidupnya.
Kabarnya program surat wasiat, malam ini juga diputusakan, tak akan diberlakukan lagi. Panitia dan instruktur kapok.



Bagian Empat
Bu Guru TK

Bu Guru TK
Tahun 1991. Pemerintah menjadikan sektor pariwisata sebagai salah satu sektor -- diluar Minyak dan Gas -- sebagai salah satu pilar penopang ekonomi Nasional. Program ini kemudian dikenal sebagai, Tahun Kunjungan Wisata. Atau Visit Indonesia Year 1991. Disingkat , (VIY 91)
Dimana-mana, disegala penjuru tanah air, objek wisata dibangun. Namun dibalik proyek besar, yang melibatkan semua lapisan masyarakat tersebut, acapkali berbenturan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan dan pelestarian alam. Atasa nama VIY 91. Justru hutan bergundulan. Sungai tercemar. Hewan langka jadi souvenir. Situs purbakala banyak yang tambah merana. Jika suasana saling tabrak tetap berlangsung, VIY 91. Pasti bakal jadi bumerang yang merugikan semuanya. Perlu ada solusi.
Itulah bagian kecil dari simpul besar pemikiran Malimpa, yang menjadi dasar menggelar sarasehan, “Sumbang Karya Pencinta Alam Dalam Pelestarian Alam Kaitannya Dengan VIY 91”.
Yang mengikuti sarasehan yang dimaksudkan sebagai peringatan Hari Jadi ke 12 Malimpa, sangat banyak. Gedung Puslitbang nyaris penuh. Peserta tak hanya datang dari lokal Surakarta. Banyak juga dari Semarang, Jogjakarta dan beberapa kota di wilayah Jawa Timur.
Pembicara di sarasehan ini, diantara adalah Kepala Kantor Departemen Pariwisata Jawa tengah. Serta beberapa narasumber lainnya, yang berkompeten dalam lingkungan hidup dan industri pariwisara,
Ternyata, insan pencinta alam mempunyai keprihatinan yang sama terhadap derita nestapa alam; yang terkena efek tak bagus VIY 91. Di forum ilmiah ini, insan pencinta alam banyak melontarkan usulan brilian yang sangat visioner, agar pariwisata tetap berjalan maju. Namun, tidak menabrak rambu kearifan lokal dan prinsip-prinsip pelestarian alam. Jika masukan ini dijalankan, VIY pastilah akan menguntungkan semua pihak.
Peserta sarasehan mengaku sangat puas pada forum ini. Bahkan, ketika acara usai, beberapa peserta, belum beranjak pulang. Mereka masih mengobrol antar sesame pencinta alam. Ditengah obrolan akrabnya, terdengar cerita kecil. Rupanya, waktu acara pembukaan tadi, banyak peserta sarasehan terkejut. Tak menyangka bakal menyaksikan pemandangan tak lazim.
Takala moderator menyampaikan, “Selanjutnya adalah sambutan Ketua Umum Malimpa”. Di benak peserta, yang akan tampil, pastilah pemuda harapan bangsa berpenampilan kurus dan kumal, yang bangga setengah mati karena tak mandi selama empat hari. Atau, pemuda harapan pemudi, yang kemudian pidato berapi-api dengan kosakata amburadul, serta sibuk menekankan perlunya pencinta alam sedunia bersatu padu, agar langit tak cepat runtuh.
Ternyata, yang ke depan adalah Puji Rusiani Yuliati, alias Puput. Seorang anggota Malimpa berjenis kelamin perempuan. Sahabat yang kami sayangi ini, maju bukan untuk mengelap podium. Dia yang akan memberikan sambutan, karena dialah Ketua Umumnya.
Penampilannya rapi. Kulitnya bersih. Pertanda dia rajin mandi. Nada bicaranya terjaga dan kosa katanya tertata baik. Tandanya, dia menguasasi masalah sarasehan. Di tengah sambutannya, Puput sesekali melontarkan humor segar, yang membuat suasana tambah meriah, sehingga tak satupun peserta yang kawatir langit bakal runtuh.
Sebenarnya bukan hanya peserta sasehan yang heran. Di lingkungan UMS banyak pula yang keheranan. Bahkan, beberapa civitas akademika menduga, Puput pastilah mahasiswi bersosok tomboy dan berpenampilan mirip ratu bandit. Namun, setelah melihat penampilan Puput, mereka justru tambah kaget. Penampilan Puput, mirip anak buah ratu bandit yang insyaf pun tidak.
Di mata orang banyak -- diluar Malimpa -- . memang dipandang dari segi apapun, Puput samasekali tak mencerminkan seorang pencinta alam. Wajah manisnya terkesan lugu, matanya yang bersinar indah, tak menampilkan kesan garang, penampilannya yang bersahaja serta rambutnya yang hanya diikat sederhana, membuat Puput lebih pantas jadi guru TK di sebuah desa pelosok pinggir kota, bukan seorang pencita alam.
Tetapi di mata anggota Malimpa, Puput adalah figur yang punya sederet pengalaman panjang di dunia pencinta alam. Ia seorang pemberani. Kepribadiannya tangguh. Tak pernah menyerah menghadapi terjalnya dinding tebing dan medan sulit di gunung. Puput juga tak pernah surut menghadapi hujan badai disertai petir yang menyambar-nyambar.
Jangan pula menantangnya makan hewan apa saja di pinggir laut. Puput dengan tangkas akan menyambar udang mati terkena limbah industri, lalu mengunyahnya menjadi makanan siap saji yang lezat. Anggota ekspedisi pantai utara, telah membuktikannya.
Nah, kurang pencinta alam apanya dia?
Jika ada opini yang mengatakan, Puput pantasnya jadi guru TK, anggota Malimpa akan beramai-ramai melawannya. Karena jika Puput jadi guru TK, anggota Malimpa justru kawatir, bias-bisa muridnya nanti, sepanjang hari hanya disuruh menyanyikan lagu, “Naik-naik ke puncak gunung”.

Pak Kapten Rakit
Jauh sebelum sarasehan tadi dicetuskan, sedari awal kepengurusan Malimpa periode masa hakti 1991-1992 ini. Puput dan Yusuf Wibisono di posisi Sektretaris Umum -- wakilnya Nana. Beserta jajaran dibawahnya, telah merencanakan berbagai perbaikan. Serta aneka program yang dapat menambah semarak warna aktivitas Malimpa.
Latihan rutin dan diskusi mingguan tetap ditingkatkan. Sedangkan pengajian rutin, skupnya diperluas. Khusus mengisi ibadah ramadhan, pengajian tidak dilaksanakan dalam kampus. Melainkan diselenggarakan secara bergiliran di rumah anggota Malimpa. Lalu dilanjutkan buka puasa bersama, serta diakhiri sholat maghrib berjamaah. Tuan rumah akan bertindak selaku sponsor utama. Sedangkan Malimpa, akan bertindak selaku pengerah massa.
Dengan diluncurkannya acara safari pengajian dan buka bersama tersebut. Diharapkan tidak hanya Menteri Agama yang akan merasa terbantu. Tetapi, Menteri Kesehatan, dapat juga berlapang dada. Karena program pengentasan gizi buruknya telah didukung Malimpa. Walaupun baru sebatas ke anggotanya sendiri.
Khusus untuk ekspedisi tahunan, Malimpa menggelar “Ekpedisi Penelusuran Bengawan Solo 2”. Dilaksanakan 8-18 Februari 91. Start Taman Jurug Solo. Finish Ujung Pangkah Gresik. Pesertanya delapan orang.
Angka dua yang menjadi penutup judul ekspedisi tersebut, adalah sebagai apresiasi terhadap prestasi hebat generasi Malimpa terdahulu, yang pernah menggelar ekspedisi serupa. Pada ekspedisi Malimpa jilid pertama tersebut, rakit yang digunakan lebih kecil, karena rutenya memang lebih pendek. Sedangkan jilid dua ini, rutenya lebih panjang, sehingga rakit yang diperlukan, lebih gemuk.
Ekspedisi Malimpa kali ini, jika dibanding ekspedisi lainnya dalam rentang waktu beberapa tahun terakhir. Memang yang paling berbahaya. Serta memerlukan biaya yang tak kecil – terutama untuk membuat rakit yang besar. Namun, biaya yang dikeluarkan, akan sebanding dengan data ilmiah yang didapat. Serta sesuai dengan kualitas pengalaman mematikan yang bakal diraih.
Bengawan Solo bukanlah kali kecil. Melainkan sungai besar dan terpanjang di Pulau Jawa.. Musim kemarau -- walaupun tak seberapa airnya – Bengawan Solo tetap mengerikan. Apalagi di musim hujan seperti sekarang. Airnya tidak saja akan mengalir sampai jauh ke laut, tetapi akan meluap sampai jauh kedaratan dan mirip laut betulan.
Karena kegiatan ini bukan proyek berani mati konyol. Maka, peserta yang akan berpartisipasi mempertaruhkan hidupnya di ekspedisi, di seleksi ketat. Syarat dan test dasarnya adalah, harus dapat berenang tanpa pelampung dan tidak muntah jika tertelan air kotor Bengawan Solo. Ternyata 15 anggota Malimpa yang ikut seleksi lulus semua. Pada psikotes atau keakraban tim, juga belum ada yang tersingkir.
Barulah, pada materi test yang mengandung unsur budaya bersih dan pola hidup sehat diatas rakit. Satu persatu peserta berguguran secara mengenaskan.. Hingga akhirnya -- setelah peserta diwajibkan menandatangani kontrak mati -- kuota delapan orang terpenuhi
Kedelapan orang tersebut adalah, Saiful, Ponco dan Tono Tobang dari Ekonomi. Agus dan Wasiri FKIP. Wiyadi UMS D3 Karang Anyar. Terakhir Toni dan Slamet Teknik
Surat kontrak mati tersebut, secara singkat berisi pernyataan bahwa, setiap peserta ekspedisi, tidak akan melakukan gugatan hukum dalam bentuk apapun, ke pihak manapun, jika dalam ekspedisi ini, mengalami cacat jiwa raga permanem, atau mengalami kematian. Baik oleh faktor alam, kecelakaaan dirakit, maupun oleh sebab lain diluar kesengajaan perbuatan teman sendiri. Namun, demi menjaga hal yang lebih serius, anggota tim ekspedisi ini, tetap diasuransikan.
Rakit yang digunakan, dibuat sangat kokoh.Untuk mendapatkan daya apung yang baik, bagian depan dan buritan rakit, masing-masing dipasang -- dengan formasi memanjang -- dua buah drum minyak tanah. Lalu bagian tengah dipasang ban dalam truk. Ban dalam sengaja dicari yang tebal dan berkondisi baik. Ini untuk menghindari resiko pecah ban di sungai. Karena, pastilah repot mencari tukang tambal ban dipinggir sungai.
Bagian tengah rakit atau lantai, serta dinding dan atap gubug kecil di atas rakit, terbuat dari anyaman bambu. Beberapa satang panjang yang dibawa, hanyalah berfungsi memberikan daya bantu dorong, jika arus sungai terlalu lemah. Begitu juga dengan dayung kecil yang dibawa. Fungsinya hanya sebatas membuat manuver berbelok jika rakit akan menepi. Laju rakit ini, sepenuhnya mengandalkan kecepakatan arus Bengawan Solo.
Sesuai agenda ekspedisi. Usai acara pelepasan yang diselenggarakan di bawah jembatan Jurug. Maka rakit yang membawa delapan sahabat kami yang gagah berani, mulai melaju. Mengarungi Bengawan Solo. Sepanjang siang selama ekspedisi berlangsung, rakit akan terus melaju. Mulai menepi menjelang senja tiba. Lalu berhenti disembarang tempat, kemudian istirahat disana. Besoknya usai subuh, rakit kembali melaju
Agar agenda ekspedisi berjalan sesuai target dan waktu, kedelapan anggota tim, setiap hari akan terbagi dalam beberapa gugus tugas berlainan. Namun tetap bersinergi. Sehingga jika satu gugus tugas tak dilaksanakan maksimal, tugas lain akan terganggu. Bahkan, ekspedisi ini dapat terhenti di tengah sungai.
Wiyadi umpamanya. Apabila ia bertugas memasak. Maka ia tak dapat menyambal ikan asin sesuai seleranya sendiri. Harus dikompromika dengan situasi. Jika masakannya terlalu sedap. Justru akan mengundang nafsu makan peserta ekspedisi, meningkat mendadak. Ini gawat. Stok makanan bakal cepat menipis. Namun, jika rasanya tak karuan, juga bisa runyam. Bakal mengundang protes. Wiyadi pasti disuruh menyiapkan menu baru. Padahal ketika hidangan baru terhidang. Menu lama, pasti disikat pula. Ini runyam. Apalagi yang dituntut disiplin tukang masaknya. Bukan tukang makannya.
Personil yang bertugas di sektor pengendali rakit -- umpamanya Agus dan Tobang -- juga dituntut disiplin tinggi dan wajib berkordinasi intensif dengan rekan disampingnya, yang bertugas sebagai pengintai bahaya. -- Toni dan Wasiri –yang juga harus disiplin dan berjaga ekstra waspada. Karena potensi bahaya di Bengawan Solo, sangat banyak.
Misalnya di titik tempat rakit melaju. bisa saja cuacanya cerah. Tetapi siapa tahu, di daerah hulu sungai, hujan deras turun, lalu mengirim air bah. Atau, dari dalam air, tiba-tiba menyembul kayu gelondong hasil illegal loging.
Rakit bongsor ini tak dapat bermanuver zig-zag. Serta tak dapat berhenti mendadak. Manuver ketepian, hanya dapat perlahan-lahan dimulai dari 30 meter menjelang lokasi sandar. Ini pun, perlu waktu hampir setengah jam. Menghentikan rakit di dekat titik sandar, juga tak bisa sembarangan. Perlu teknik tertentu. Agar satang yang difungsikan sebagai rem manual tak patah, atau justru membuat rakit malah balik ke tengah lagi.
Buaya kelaparan yang masih banyak di Bengawan Solo, juga tak dapat dianggap sepele. Belum lagi jika berpapasan mendadak dengan perahu sarat penumpang di lintasan ojek air. Ini bahaya. Bukan takut ditabrak. Justru rakit ini yang dikawatirkan menghantam ojek air. Jadi, regu Agus dan regu Wasiri, harus selalu siaga penuh.
Sementara tugas yang diemban Saiful, Ponco dan Slamet, juga tak kalah luhurnya Kalau pun mereka terlihat sedikit rileks, mereka sebenarnya bukan seperti sedang berjemur di pinggir pantai. Atau sesekali menudingkan telunjuknya ke tepi sungai, mereka bukan pula sedang menyurvey populasi itik yang berenang.
Mereka bertiga sedang observasi potensi wisata sungai Bengawan Solo. Karena hingga sekarang, Bengawan Solo belum dimanfaatkan secata maksimal sebagai objek wisata air, seperti sungai Ayung di Bali atau Citarik di Jawa Barat. Padahal Bengawan Solo, punya potensi besar untuk itu. Hanya saja, datanya masih minim.
Melalui ekpedisi ini, Malimpa menargetkan, mendapat banyak data yang belum dimiliki pihak lain. Data observasi sungai ini, kemudian disandingkan dengan hasil interview dengan masyarakat pinggiran sungai. Data ini, didapat melalui pertemuan antara anggota tim ekspedisi dengan penduduk setempat, setiap malam tatkala rakit bersandar.
Dari forum semacam itu, anggota ekpedisi mendapat banyak informasi berharga berkaitan dengan potensi wisata di sepanjang Bengawan Solo. Bahkan, penduduk pun sangat berharap, ke depannya, Bengawan Solo benar-benar menjadi daerah tujuan wisata baru. Sehingga Bengawan Solo, tak lagi menjadi tong sampah besar seperti sekarang ini
Data lapangan ini nantinya, akan diperkaya dengan methode studi pustaka di kampus UMS. Setelah usai dianalisa dan menghasilkan kesimpulan ilmiah. Hasil akhir ekspedisi, akan disumbangkam Malimpa ke Pemerintah Daerah di sepanjang rute yang dilalui.
Dari penduduk pula, ke delapan anggota ekspedisi, mengetahui, tingkat kematian di tengah Bengawan Solo, ternyata tidak kecil. Beberapa kali penduduk setempat, menitipkan ciri-ciri warganya yang hanyut. Mereka berharap. tim ekspedisi dapat menyebar info duka ini, ke penduduk di hilir.
Misi kemanusian disambut baik. Namun, ketika ciri dan harapan tadi disampaikan ke penduduk yang di hilir, ternyata hanya sedikit yang antusias. Menurut beberapa warga, mereka bukannya tak peduli, hanya kelelahan. “Yang empat saja belum ketemu mas. Sekarang malah tambah dua”.
Malah ada yang menjawab, “ Kalau yang anak-anak saya tak melihat. Tadi ada mayat nenek hanyut, tapi nggak tahu sekarang nyangkut dimana. Saya kurang memperhatikan, karena sibuk mengurus mayat orang bunuh diri” Wow.
Semua tugas harian ekspedisi tadi, wajib dilaksanakan secara baik dan benar. Untuk mengusir jenuh, tiap hari dilakukan mutasi harian. Saiful yang pada hari keempat, dimutasi ke bagian pengawas laju perahu, tampak sangat kegirangan. Ia yang hari kemarin berjaga di pos observasi, telah melakukan tugasnya secara serius. Sehingga, ia akhirnya mendapat “pengetahuan tambahan”. Saiful jadi hapal jam sibuk sungai ketika penduduk mandi di sungai. Pengetahun ini dirahasiakannya.
Saiful tak ingin membuang kesempatan. Jean bersih dan kemeja barunya, dipakai. Lalu, ia melumuri sekujur badannya dengan parfum. Sore ini, Saiful tampak rapi dan wangi. Sangat metroseksual.
Ketujuh sahabatnya yang selalu kusut karena kelelahan, terheran-heran. “Apa Saiful mulai mengalami gejala dini rusak jiwa permanen?”
Yang lebih mencurigakan, lagak Saiful pun berubah. Ia sering memberi perintah tak jelas sembari tunjuk sana-sini. Persis kelakuan kapten kapal pesiar di laut atlantik. Ia juga rajin melempar senyum manis ke pinggir sungai.
Oala, penumpang mulai sadar. Pak kapten rakit ini bukan depresi. Melainkan menjalankan aksi tebar pesona. Berharap ada kembang sungai tergila-gila padanya.
Harapan dan peristiwa memang tak selalu seirama. Lantaran sibuk sendiri, tangan dan mata Saiful, akhirnya tak terintegrasi sempurna. Satang yang dipegangnya, tanpa sengaja menancap terlalu ke muka. Seiring laju rakit, satang itu tambah tertekan dan menghujam makin dalam ke Lumpur dasar sungai. Satang menjadi sukar ditarik, Ketika rakit mendadak terdorong arus, satang di tangan Saiful terlepas. Lantas, tertinggal ditengah sungai. Di belakang rakit.
Pak kapten kelabakan . Tanggung jawab wajib diemban. Satang harus diambil. Namun, penampilan besok, harus tetap dipikirkan. Lantas, dengan gesit, Saiful melepas semua pakaian di badannya. Kemudian, dengan gagahnya, ia meloncat ke tengah air. Berenang melawan arus. Menghampiri satang sebatang kara yang tertinggal di belakang.
Membebaskan satang dari Lumpur, ternyata susah, dan perlu waktu cukup lama. Semula Saiful sempat berniat minta bantuan. Tetapi dibatalkannya. Pasti akan sia-sia belaka. Mahluk cekikian diatas rakit sana, adalah anggota Malimpa tulen, yang pantang melanggar “kearifan lokal” di Malimpa bahwa, “Disetiap penderitaan teman sendiri, pastilah ada sisi lucu yang menarik buat ditertawakan bersama” Saiful akhirnya pasrah. Ia siap jadi bahan tertawaan.
Ketika sahabatnya masih berakit-rakit ke hilir. Saiful mulai berenang-renang ke tepian. Sesampainya disana Saiful akan berlari menyusul rakit. Namun, ide cerdiknya tak berjalan terlalu mulus. Dipinggiran sungai banyak yamg mandi. Dengan penampilan primitif begini, sambil memegang satang panjang pula, jelas tak akan ada kembang sungai yang jatuh hati padanya. Ketakutan pasti. Orang disana, pasti akan mnjerit-jerit. Syaiful akhirnya mengambil trayek agak ke jauh dari pinggir sungai . Ia kemudian, terus berlari dan tak mempedulikan ketika sekolompok bocah meneriakinya, “Mbok, ono wong edan melayu”.
Benar kata pepatah, alam punya cara tersendiri untuk menyeimbangkan segalanya. Usai peristiwa sore itu, Saiful tak berniat lagi tampil beda. Ia mulai sama dengan yang lain. Kusut, dekil dan sesekali bercanda. Mirip juragan perahu bangkrut yang berusaha menghibur diri sendiri.
Rakit ekspedisi terus melaju. Kadang ngebut. Kadang berayun-ayun. Mengikuti irama arus sungai. Penduduk sering melambaikan tangan. Pertanda rakit ini mendapat perhatian insani. Rakit ini tak pernah rewel. Sejak start dari Jurug Solo, lalu memasuki Jenar. Sragen, rakit tetap kokoh. Namun, ketika memasuki Ngawi, rakit mulai bermasalah.
Ternyata anak sungai di daerah Ngawi -- usai hujan -- arusnya sangat deras. Sehingga ketika airnya bergabung di Bengawan Solo dan membentuk pertemuan dua arus -- diistilahkan air tempuran -- kekuatan arusnya sangat besar. Kebetulan rakit ekspedisi Malimpa, pas melintas di pertemuan tersebut. Rakit terguncang hebat dan mulai tak kokoh.
Begitu juga ketika – usai wilayah Ngawi Jawa Timur -- kembali memasuki wilayah Jawa Tengah di Cepu. Rakit kembali diguncang prahara. Di daerah Cepu dan sekitarnya, ada beberapa jembatan yang melintas di tengah Bengawan Solo. Ketika hujan deras, debit sungai bertambah. Permukaan arus sungai menjadi naik. Akibatnya rakit terangkat, lalu menghantam dasar jembatan tersebut. Peristiwa ini terjadi berkali-kali, hingga gubug hancur dan tiang antene HT, patah. Alat komunikasi tim ekspedisi, menjadi tak berfungsi. Kening. delapan penumpangnya, juga nyaris robek
Begitu juga, ketika kembali merambah wilayah Jawa Timur, lantas berturut-turut melintasi Padangan, Kalitidu, Bojonegoro, kemudian masuk wilayah Tuban. Terus ke daerah Babat, Bungah, Lamongan, Laren hingga ke wilayah Kali Tengah, rakit selalu mengalami peristiwa menegangkan.
Menjelang memasuki Ujung Pangkah Gresik. Rakit benar-benar tak kokoh dan mulai oleng. Sehingga, seharusnya berhenti di tepi sungai sebelum masuk muara, rakit ini susah dikendalikan, dan malah terus melaju kencang, hingga memasuki laut Jawa. Akhirnya, rakit berjasa besar tersebut, tak bisa diselamatkan lagi. Rakit hancur di ujung perjalanan, di penghabisan Bengawan Solo. Untunglah, delapan orang penumpangnya tetap utuh.
Dengan sampainya anggota tim ekspedisi di ujung Pangkah Gresik ini. Maka Berakhir pula, “Ekpedisi Penelusuran Bengawan Solo 2”.Usai pulalah, petualang gagah berani delapan sahabat kami, merambah tujuh kabupaten/kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sekaligus meneruskan prestasi hebat generasi terdahulu, yang sebenarnya tak mereka kenal.
Keberhasilan “Ekspedisi Penelusuran Bengawan Solo 2”. Bukan saja menjadikan Malimpa sebagai yang pertama melintasi rute sepanjang Solo Jawa Tengah - Gresik Jawa Timur. Namun lebih dari itu, Ekspedisi ini akan memberikan sedikit sumbangan buat kemajuan pariwisata Indonesia. Persada yang kami cintai..

Penuh Warna
SDM. Merupakan aset tak ternilai sebuah organisai. Kian bagus kwalitas SDM nya. Pasti kian bagus pula organisasi bersangkutan. Begitu halnya dengan Malimpa, seiring dengan makin intensifnya pola pengembangan SDM-nya. Maka, di Malimpa selalu muncul figur-figur potensial. Baik anggota baru yang meroket maupun anggota lama yang kian matang.
Slamet umpamanya. Sahabat kami yang merupakan alumni Diklatsar V. Mulai dua tahun lalu, selalu mengasah kemampuannya dan berbagai kegiatan penting Malimpa, selalu diikutinya. Sehingga Slamet, dalam waktu singkat menguasai perhitungan rumit IMPK. Serta menguasi disiplin ilmu mendaki gunung dan panjat tebing.
Sisi mengagumkan dari sahabat kami ini adalah, kegesitannya menuntaskan persoalaan pelik saat itu juga . Sahabat yang kami sayangi ini, seolah percaya, kunci menuntaskan masalah justru muncul disaat masalah itu terjadi, bukan setelahnya. Kegesitan Slamet benar-benar membantu Malimpa. Maka, jika Malimpa butuh gerak cepat. Semua orang akan menoleh kepadanya. Karena Slamet adalah pendekarnya.
Begitu halnya Sumantri Agung Wibowo alias Gowang. Alumni Diklatsar V ini, disamping menguasai ilmu gunung dan tebing. Ia juga menekuni bidang P3K. Ilmu yang didapatnya dari mengikuti tugas belajar Malimpa ke KSR PMI Surakarta tersebut, benar-benar diseriusinya. Hingga membuatnya nyaris menjadi satu-satu anggota Malimpa, yang menguasasi ilmu darurat medis pra rumah sakit tersebut. Yang menarik dari sahabat kami ini adalah, pembawaannya yang periang. Sehingga ilmu P3K yang tekstual, di tangan Gowang, menjadi mudah dicerna. Anggota muda Malimpa, bahkan mengaku, akan cepat menyerap ilmu P3K jika Gowang tutornya.
Nana juga tambah hebring. Kendati posturnya terkesan biasa. Tetapi, fisiknya luar biasa. Mentalnya pun sangat tangguh. Setiap mengikuti seleksi di Malimpa, Alumni Diklatsar V ini, hampir selalu lulus dengan nilai istimewa. Pada periode ini, kemampuan mendaki gunungnya, meningkat pesat, mengalahkan yang lain. Beberapa figur penting di Malimpa, bahkan memprediksi, kelak Nana akan menjadi pendaki gunung yang paling berprestasi di Malimpa
Nana juga menguasai manajemen perkantoran. Maka jika Malimpa kemudian dikenal sebagai salah satu UKM yang rapi administrasi. Ada andil Nana disitu. Yang menarik dari sahabat kami ini, adalah sikap sabarnya menunggu orang lain melucu. Namun ketika ia tertawa, justru ia sendiri yang ditertawakan kami semua.
Agus NH. Juga meningkat pesat. Ia makin menguasai tebing, gunung dan SAR. Namun, ia juga menekuni administrasi organisasi. Sehingga Agus NH. Kemudian dikenal sebagai salah satu anggota Malimpa yang paling tertib administrasi.
Yang juga berkilau pada periode ini adalah Intan. Seperti alumni Diklatsar V lainnya. Sedari awal, Intan juga langsung aktif. Bahkan, ketika Malimpa mengadakan “Dasawarsa Malimpa” th 1998. Intan berhasil mendapatkan sponsor buat Malimpa. Keberhasilan “anak baru” tersebut, membuat Dasawarsa tadi, menjadi acara perdana Malimpa yang disponsori pihak luar UMS. Nama sposnornya Rokok Mina Padi
Ditopang fisiknya yang kokoh, Intan berkali-kali mewakili tim lomba Malimpa di berbagai kejuaraan besar. Kemampuannya di gunung dan tebing, juga tak bisa diremehkan.Yang menarik dari sahabat kami ini adalah, pengetahuannya yang luas diluar dunia pencinta alam. Ia juga pandai bergaul. Menguasai ilmu jurnalistik. Serta memiliki gaya bicara yang renyah dengan kosakata tertata baik. Dengan segala kelebihannya, Intan selalu menempati peringkat pertama memimpin acara penting di Malimpa. Serta selalu menjadi duta besar apa saja, yang mengurus keperluan Malimpa di Luar UMS. Lainnya, adalah gaya berbusananaya yang sedap dipandang. Sehingga, “Untuk seorang pencinta alam, Intan adalah yang paling modis”.
Bukan hanya mereka dan bidang itu saja yang meroket. “Bidang lain” yang menjadi ciri khas Malimpa, juga berkembang pesat. Bahkan melahirkan “tokohnya” pula.
Sigit umpamanya. Jebolan Diklatsar VII, ini kabarnya sejak bayi sudah lucu. Alasannya masuk Malimpa, konon, ingin mencari kawan lucu yang lebih rusak. Cita-citanya dalam waktu singkat terkabul. Sejak itu pula, kemampuan sigit dalam olah lucu, meningkat parah. Apa yang ia lakukan dan katakana, pasti lucu. Bahkan, diam pun, Sigit masih terlihat lucu. Dengan segala kelebihannya – dia juga jago panjat dan SAR – Sigit menjadi salah satu tokoh penting di sector, “mati ketawa ala Malimpa”
Tobang juga begitu. Bahkan, kalau lulusan Diklatsar VII ini mendadak jadi anak manis, tampaknya kiamat sudah dekat. Tobang jahilnya minta ampun dan isengnya luar biasa. Sebagian besar anggota Malimpa, telah jadi korban keisengannya.. Namun, tak ada yang marah. “Kelebihannya” itulah, yang membuat Malimpa tambah meriah. Bahkan, aggota baru Malimpa yang kemudian jadi bandel, mengaku “terinspirasi oleh mas Tobang”. Pada periode ini, kemampuannya itu, meningkat tinggi. Hingga ke tingkat jadi “panutan”.
Dengan warna pribadi yang beragam itulah, Malimpa tak pernah sepi aktivitas. Kegiatannya pun menjadi tidak membosankan. Penuh variasi. Serta selalu diupayakan, sekecil apapun – kegiatan Malimpa -- tetap membawa manfaat bagi orang banyak.
Kalau tidak bisa banyak, dua Menteri Kabinet pun cukuplah.

Mewujudkan Mimpi
Sejak dua tahun terakhir, budaya organisasi yang diterapkan di Malimpa, adalah manajemen partisipasi. Yang dikedepankan dalam pendekatan model ini adalah, sebuah sistem yang mengundang gairah aktif semua anggota Malimpa. Dengan sistem tersebut, merah biru Malimpa, tak ditentukan oleh satu dua orang. Melainkan oleh kebersamaan. Budaya ini sangat manusiawi. Menghargai potensi semua anggota. Serta pimpinan tidak harus sendirian mengerjakan semuanya. Melainkan, boleh sekedar memastikan semuanya telah berlangsung optimal.
Manajemen partisipasi berkembang subur di Malimpa. Sehingga ketika “Bu Guru TK Naik-naik ke puncak gunung”, dan Yusuf Wibisono, secara kebetulan bersama-sama mengikuti KKN di Kec. Sukoharjo. Juli-Agustus 1991. Kegiatan Malimpa tak pingsan Anggota Malimpa tak merasa terganggu. Bahkan, mimpi membuat dinding panjat, tetap digelorakan.
Yang menggangu pikiran mereka, hanyalah anggaran yang diperlukan untuk mewujudkan impian tersebut, sangat besar. Uang kas Malimpa dikuras habis sekalipun, tetap tak bakal mencukupi.
Memang selama ini, di samping posko Malimpa, ada dinding panjat yang lebarnya enam meter, dengan ketingian kurang dari tiga meter. Namun, seiring kebutuhan akan tantangan yang terus meningkat. Dinding yang dibuat pada periode lalu tersebut, tak memadai lagi. Karena, yang bisa dilakukan di dinding tersebut, hanyalah memanjat dengan teknik menyamping, mulai dari awal pinggir dinding, hingga ke ujung dinding berikutnya. Lalu balik lagi ke ujung dinding semula. Satu-satunya tantangan di dinding “kanan-kiri oke” tersebut, hanyalah kran air aktif yang letaknya, tepat dibawah posisi tengah dinding. Terjerambab ke kran air, lumayan sakit dan pastilah jadi tertawaan teman sendiri.
Sedangkan latihan di tebing alam seperti biasa, tak bisa dilakukan setiap hari. Letaknya jauh di luar kota. Lagipula -- karena urusan kuliah dan kegaiatan lain -- tak semua anggota Malimpa bisa kesana. Belum lagi bila musim hujan. Jadwal latihan pasti hancur total. Jadi, mimpi membuat dinding panjat, merupakan cita-cita yang “mulia”.
Kepepet memang membuat orang kreatif. Genter akhirnya menemukan jawabnya. Ia telah punya ide “cemerlang”. Serta, ia pula yang akan memulai mewujudkannya.
Genter akhirnya, mulai rajin memperhatikan deretan ruang kecil yang terletak di areal parkir belakang kampus. Ruang-ruang tersebut, adalah gudang tempat UMS menyimpan material bangunan beberapa gedung baru yang sedang dikerjakan. Dari tempat inilah, Genter akan mengawali segalanya.
“Kepeloporan” Genter, dimulainya dengan, “secara sengaja menemukan” pipa besi ukuran besar disana. Aktivitas terpuji ini, dilakukannya beberapa kali, hingga akhirnya terkumpul empat buah. Benda-benda berharga tersebut, secara hati-hati, disimpannya diatas genteng posko Malimpa.
Lalu, beberapa hari kemudian, Genter, Ipunk dan Ansori kancil, “nemu” pagar UMS, yang masih terpasang kokoh sebagai pengaman kampus di dekat gedung FKIP. Pagar ini terbuat dari besi siku. Benda ini diperlukan buat rangka tengah dinding panjat. Tanpa membuang waktu, Ipunk dan Genter, kemudian langsung menggergaji bilah-bilah besi pagar tersebut. Ansori yang bertubuh lebih kecil, bertugas mengawasi orang lewat.
Si kancil, ternyata tak bertugas baik. Ia gampang gugup. Baru dapat beberapa bilah, ia sudah mengajak pulang. Akhirnya, ketiga sahabat kami itu, balik ke posko. Ketika ketiganya sedang berkonsentrasi menyimpan benda-benda tadi, mendadak muncul Satpam. Ia mencari Genter. Ipunk yang berada di atap, mendadak gemetar. Pikirannya berkecamuk, membayangkan keselamatan sahabatnya.
Ternyata pak Satpam kesini, bukan untuk menangkap Genter. Melainkan mengantar gergaji yang -- karena Ansori terburu-buru -- tertinggal di dekat pagar tadi. Satpam ke posko Malimpa karena di gagang gergaji tersebut, ada tulisan kecil, “milik genter mlp”. Ipunk tertawa. Genter dan Ansori terpingkal-pingkal.
Aksi-aksi “penemuan terus berlanjut”. Anggota Malimpa mulai menjadi “penemu-penemu” dadakan. Lantas, setelah jumlahnya sesuai dengan kebutuhan, seperti di rancang bangun yang dibuat Genter dan Ipunk, benda-benda tadi, dilaskan di daerah Pajang. Beberapa hari kemudian, rangka dinding panjat tersebut jadi. Slamet, Phonco, Saiful dan beberapa yang lain, bertugas mengambilnya, memakai kijang pick up coklat UMS. Kini, setengan impian telah terwujud, setengah lagi berbentuk triplek, semen dan beberapa besi tambahan. Serta cat dan poin-poin panjat.
Tuhan memang Maha Pemurah. Gudang favorit tadi, sering terbuka begitu saja. “Menemukan secara sengaja”, sedikit besi tambahan dan beberapa sak semen, menjadi lebih gampang. Sekarang tinggal tripleknya.
“Menemukan” triplek bukan perkata sulit. Malah sangat gampang. Ruang perkuliahan FKIP -- areal gedung terdekat dari posko Malimpa -- rata-rata mempunyai papan tulis lebih dari dua buah. Papan tulis tersebut, terbuat dari triplek tebal berkualitas baik, sehingga cocok buat dinding panjat. “Memindahkannya”, satu dua, atau empat biji sekalipun, tak akan menggangu proses belajar mengajar disana. Hanya saja, disini harus sedikit bersabar. Perkuliahannya sampai sore.
Sesampainya di posko Malimpa, lis besi di pinggir papan-papan tulis tersebut dilepas. Kemudian tripleknya diukur. Lalu mulai digergaji. Ditengah kesibukan tersebut, muncul Lestari Genduk. Kalimat di papan tulis yang sedang digergaji tengahnya, menarik perhatiannya. Ia kenal deretan kata-kata disitu. Mendadak ia tertawa. “Mas, ini pelajaranku tadi !”, teriaknya kegirangan. Yang lain ikut tertawa. Lestari Genduk, masih saja tertawa sambil tersenyum, membayangkan aksi lucu sahabatnya tadi. Bahkan, kini ia ingin melakukan hal yang sama.
Beberapa hari kemudian. Semuanya beres. Triplek yang diperlukan sudah di cat rapi. Warnanya biru laut. Warna bagus yang menyejukan mata. Poin panjat yang dibuat dan dan Genter, dari campuran pasir kwarsa, resine, cobal dan katalis, juga sudah jadi. Bentuknya bermacam-macam. Tingkat kesulitannya berbeda-beda. Warnanya, juga cantik-cantik.
Akhirnya, anggota Malimpa mulai bergotong royong, mengerjakan tahap akhir proses perwujudan mimpinya. Ada yang bertugas mendirikan rangka besi. Ada pula yang bertugas memegang tali penahannya. Ada yang mengangkat triplek. Semuanya sibuk.
Pekerjaan tersebut, ternyata sangat melelahkan. Karena ada beberapa bagian yang harus diulang. Lubang bor di triplek, ternyata tak begitu lurus dengan lubang di rangka besi. Pondasinya juga kurang kuat. Patok besi untuk menahan rangka besi, ternyata terlalu pendek. Rupanya anggota Malimpa, bukanlah tukang bangunan yang baik.
Sore hari, barulah mimpi itu berdiri tegak dan kokoh. Berujud sebuah dinding panjat setinggi tujuh meter dan lebar dua meter. Biaya yang dikeluarkan untuk mewujudkan mimpi ini, tak banyak. Sangat terjangkau. Serta tak menguras dompet Malimpa. Ah, leganya.
Mulai saat itu, anggota Malimpa selalu latihan. Sebelum kuliah, latihan. Usai semesteran, latihan. Usai hujan deras, latihan. Pokoknya latihan dan latihan. Bahkan, malam hari pun latihan, karena di Malimpa sekarang, ada lampu listrik berkekuatan ribuan watt. Anggota Malimpa banyak yang tak tahu asal-usul lampu ini. Ketika perihal lampu, ditanyakan kepada Genter dan Ipunk, keduanya hanya tersenyum. Namum, dari senyumnya, anggota Malimpa tahu. Lampu besar ini, pastilah “ditemukan”, tak jauh dari sini.
Ternyata kabar Malimpa punya wall climbing baru, telah menyebar kemana-mana. Hingga akhirnya pihak Universitas, mengirim Malimpa mengikuti Pasar Malam di Delanggu. Di acara yang diselenggarakan untuk memperingati Dirgahayu RI ke 46 tersebut, Malimpa tak banyak memamerkan kebolehannya. Malimpa di acara yang dilaksanakan pada Agustus 91 tersebut, lebih banyak memberikan pengertian ke masyarakat seputar kegiatan pencinta alam, khususnya panjat tebing. Masyarakat tertarik. Bahkan, banyak diantara mereka yang berani mencoba manjat di dinding baru Malimpa. Anggota Malimpa bangga, dinding panjatnya yang berbahan barang “temuan” tersebut, ternyata dapat juga. “berpahala”.
Usai pameran. Ternyata, usai pula KKN yang diikuti Puput dan Yusuf. Puput langsung ke posko Malimpa. Ia rindu dengan semua sahabatnya disana. Ketika sampai di parkiran kampus, seseorang menghampirinya. Lalu’ “ Walah mbak, ditinggal KKN anak buahe do njikoi wesi…”
Puput tertawa. Ia tahu perilaku lucu sahabat-sahabatnya, karena itulah ia merindukannya.




















Bagian Kelima
Ready For Use

Posko Baru
Usai kepemimpinan Puput dkk. Aku dan beberapa sahabatku, dipercaya memimpin Malimpa. Masa bhakti 1992-1993. Sahabatku Sigit dipercaya menjadi Sekretaris Umum. Nana sebagai wakilnya. Agus Suroyo dipercaya mengisi pos Bendahara. Wakilnya Inung. Sahabatku Saiful dan Gowang dipercaya sebagai Ketua Bidang Satu dan Dua..
Sedangkan sahabatku yang lain, ada yang dipercaya mengurusi panjat tebing. Diserahi tugas menggerakan kegiatan mendaki gunung. Dipercaya mengurus logistik. Ada yang diserahi tanggung jawab mengurus pengabdian masyarakat. Serta, ada juga yang mengurus sektor Litbang dan Diklat. Aku sendiri, Ahyar Stone, dipercaya menggantikan posisi sahabatku Puput.
Sebagai pengurus, kami merasa sangat bersyukur. Tiga Ketua Umum Malimpa terdahulu, beserta segenap jajarannya, memberikan warisan yang tak ternilai harganya. Peralatan pencinta alam yang banyak dan terawat baik. Uang kas yang tak sedikit jumlahnya. Serta nama besar Malimpa dan sumber daya manusia yang melimpah. Jadi, dalam mengurus Malimpa, kami relatif tak menemui kendala yang memusingkan kepala.
Yang sulit, justru ketika harus menempatkan seseorang pada posisi khusus di kegiatan tertentu. Ini pelik. Kualitas anggota Malimpa merata hebatnya. Teori buatan Amerika yang banyak dianut orang Jawa bahwa, “Tempatkanlah orang baik ditempat yang tepat”. Alias on the right man on the right place. Sering tak relevan.
Gantinya, anggota Malimpa menempatkan teori bikinannya sendiri yang berbunyi, “Tempatkanlah orang yang berani mbolos kuliah di tempat yang tepat”. Teori ngawur ini, ternyata mujarab juga, karena anggota Malimpa yang tergolong mahasiswa rajin, masih banyak jumlahnya. Dengan teori on the wani mbolos study man on the right place tersebut, kesulitan tadi menjadi teratasi.
Pada periode ini, posko Malimpa pindah ke ruang lain yang luasnya, dua kali lipat dari luas sebelumnya. Ke ruang kulintang. Perpindahan ini dapat berlangsung lancar, juga berkat jasa baik pihak Universitas yang tak marah, walaupun Malimpa mengungsi permanen menggunakan jurus cantik, “pindah dahulu lapor kemudian”, dalam waktu kurang dari dua jam. Habis maghrib.
Ibu-ibu UMS. Penggemar kulintang, kabarnya – entah benar atau isu – justru girang mendapati ruang “baru”, yang sekujur dindingnya penuh lukisan abstrak doreng tentara. Konon, mereka menjadi lebih bergairah memukul bilah-bilah kulintang. Sehingga lagu mendayu-dayu Bubuy Bulan, dapat digubahnya menjadi berirama rock’n roll.
Bagi anggota Malimpa, punya posko baru yang letaknya, hanya tiga meter dari posko sebelumnya, punya tiga keuntungan sekaligus. Pertama, jika hujan deras turun, hanya sedikit anggota Malimpa yang bakal menggigil kedinginan di luar. Kedua, jumlah anggota Malimpa yang mentertawakan teman sendiri yang menggigil kedinginan di luar, akan meningkat drastis.
Keuntungan lainnya, jika mengadakan pertemuan level menengah kebawah. Tak lagi harus migrasi singkat ke joglo griya mahasiswa atau ke gedung FKIP terdekat. Pertemuan bisa langsung digelar kapan saja. Tanpa harus survey terlebih dahulu dengan methode pura-pura lewat sambil berlagak acuh tapi butuh, mencari ruang kuliah FKIP yang kosong.
Posko baru memberikan suasana baru. Suasana yang dari dulu meriah, menjadi lebih semarak. Ide-ide kreatif makin sering berloncatan dari kepala angota Malimpa. Inilah yang kemudian melahirkan slogan juang, kreatif, inovatif, edukatif. Dari slogan ini, antara lain muncul gagasan besar mendaki puncak Cartenzt Pyramid (5030 m).
Pada periode ini, latihan rutin kemana-mana, tetap rajin dilakukan. Donor darah dan bantu-bantu masyarakat juga tak pernah absen. Diskusi yang membahas lingkungan hidup, agama. Sosial, ekonomi – serta sesekali mengangkat isu perang nuklir – juga tetap dilaksanakan. Inipun warisan periode masa lalu, yang wajib dijaga keberlangsungannya.
Khusus memperingati hari jadi Malimpa yang ke 13. Malimpa periode ini tetap melaksanakan wasiat 3 generasi terdahulu, “ Wajib melaksanakan tiga kegiatan sekaligus, yang salah satunya harus tumpengan”.Berdasarkan mantra sakti itulah, “13 Tahun Malimpa”. Diisi acara Reuni. Tumpengan. Serta Ekspedisi Jalur 13.
Sedangkan dalam rangka memeriahkan hari Lingkungan Hidup se-Dunia, Malimpa mengadakan acara tanam pohon buah di kampus UMS dan sekitarnya. Lalu, dilanjutkan dengan mengirim tim kecil beranggotakan Habib, Nana, Budi Bodrex Ekonomi dan aku sendiri, mendaki gunung Semeru (3672 m) di Jawa Timur. Tim campuran ini, melalui jalur normal Ranu Pane.Bermalam di Ranu Kumbolo. Lalu di Kalimati. Diniharinya, dilanjutkan ke puncak Semeru. Yaitu, Mahameru dan Jonggring Saloka.
Kegiatan yang dimaksudkan sebagai proyek pertama pendakian Malimpa ke gunung di luar Jateng ini, tidak saja berhasil mengibarkan bendera Malimpa di puncak gunung tertinggi di P. Jawa. Tetapi, berhasil juga mengantar Nana menjadi anggota putri Malimpa pertama, yang berhasil ke puncak Semeru.

Reuni yang Bersahaja
Reuni dilaksanakan 25 Mei 1992. Siang. Sedangkan tumpengan, malamnya. Acara reuni yang dimaksudkan sebagai jembatan silaturrahmi antara anggota Malimpa, yang berstatus mahasiswa dengan anggota Malimpa generasi terdahulu, berlangsung bersahaja. Dengan reuni ini, anggota Malimpa generasi terkini, dapat berjumpa langsung dengan semua kakaknya. Yang selama ini hanya dikenal melalui photo dan kisah perjuangan luar biasanya mengibarkan bendera Malimpa “tempoe doeloe’. Sang kakak pun menjadi tahu bahwa, prestasi Malimpa tetap terjaga. Cita-cita dan semangat mereka, tetap digelorakan
Acara yang dihadiri sekitar 50 anggota Malimpa dari berbagai generasi tersebut, disisi lain, juga menjadi katup pelepas rindu antara kakak kami tersebut. Karena sejak meninggalkan UMS. Mereka jarang bertemu. Bahkan, tak sedikit diantaranya yang “kehilangan jejak”. Melalui reuni ini, komunikasi yang putus, dijalin kembali.
Yang lebih membahagiakan, dalam reuni ini banyak diatara kakak kami yang membawa keluarga bahagianya. Anak-anak mereka – keponakan Malimpa – langsung akrab. Walaupun baru bererapa menit bertemu. Tampaknya, mereka mewarisi sifat orang tuanya yang anggota Malimpa, gampang arab dengan siapapun. Mereka bermain-main di sela-sela acara reuni. Tetapi, tak seorang pun yang merasa terganggu.
Sayangnya, kakak kami tersebut -- karena kesibukannya -- tak dapat menghadiri acara tumpengan 13 tahun Malimpa. Kami -- adiknya -- mengerti dan sangat memakluminya. “Sampai jumpa kak”.

Jalur 13
Jurang Jumo, Gondosuli, Kec. Tawangmangu. Kab. Karang Anyar. Terpilih sebagai lokasi “Ekspedisi Jalur 13”, dengan pertimbangan bahwa, di lokasi tersebut, belum pernah ada kelompok pencinta alam dari manapun, yang menggelar ekspedisi pembuatan jalur baru panjat tebing. Sementara, tebing yang menjadi dinding Jurang Jumo, mempunyai tingkat kesulitan yang ideal sebagai lokasi membuat jalur baru, karena, jenis batunya adalah Andesit. Batu jenis ini sangat keras. Sangat susah dipasang paku tebing. Batu berwarna hitam berbentuk lempeng-lempeng tersebut, berpermukaan mulus dan tak ada tonjolan ataupun lubang-lubang kecil. Hanya terdapat rekahan-rekanan, yang jumlahnya pun tak seberapa.. Tingkat kemiringan Jurang Jumo, juga meyakinkan. Mulai 80 hingga tegak lurus 90 derajat.
Pertimbangan lainnya, Jurang Jumo merupakan lokasi inti Pendidikan Dasar Malimpa. Sehingga hasil ekspedisi ini, dapat dijadikan sebagai, “jalur percontohan”, kepada calon anggota baru Malimpa.
Dari segi biaya, ekspedisi ini tidak menelan biaya yang terlalu besar, karena disamping lokasinya gampang dijangkau, peralatan Malimpa yang akan digunakan dalam ekpedisi, sudah memadai. Ekspedisi ini hanya membutuhkan paku tebing baru, serta beberapa peralatan kecil lainnya, yang harganya tak terlalu tinggi.
Yang dipercaya melaksanakan “Ekspedisi Jalur 13”, adalah Ipunk dan Genter. Bersama mereka, disertakan pula tiga generasi muda penuh potensi., yaitu, Khabib, Ardian dan Zulfahmi.
Terpilihnya Ipunk sebagai skuad inti ekspedisi ini, memang sudah diperkirakan banyak orang. Karena alumni Diklatsar V ini, mempunyai kemampuan panjatnya yang mengagumkan. Ipunk memang adalah pendaki terbaik yang pernah dilahirkan Malimpa. Pengorbanannya untuk mengangkat harkat dan martabat panjat tebing Malimpa ke tingkat yang lebih tinggi, patut diacungi jempol. Sehingga tak berlebihan jika dikatakan, Mahasiswa FKIP ini -- bersama Genter -- adalah perintis kemajuan panjat tebing di Malimpa.
Ipunk telah mendatangi semua medan penting latihan panjat tebing di Jateng dan DIY. Ia pun telah berkali-kali mengikuti kejuaran panjat dinding. Hasilnya pun, tidak mengecewakan. Sisi menarik dari sahabat kami ini adalah, ia tak pernah pelit ilmu. Dengan segala kesabarannya, Ipunk selalu mengajarkan ilmu – teknis dan non teknis – panjat tebingnya, ke semua anggota Malimpa. Keberhasilan ekspedisi ini sangat bergantung kepadanya.
Sama seperti Ipunk, terpilihnya Genter di ekspedisi perdana Malimpa membuat jalur panjat, juga sudah diperkirakan banyak orang. Ditopang posturnya yang tinggi besar, serta betis yang kokoh dan jemari yang kuat. Genter sangat hebat di panjat tebing. Ia pun sudah mendatangi berbagai medan penting latihan panjat. Serta, telah berkali-kali mewakili Malimpa di kejuaran panjat dinding. Hasilnya pun tidak mengecewakan. Ekpedisi ini juga sangat bergantung kepadanya.
Tidak hanya panjat tebing yang ia kuasai. Berbagai jurusan kegiatan di Malimpa, ia tekuni dengan serius. Bahkan, menangani ular berbisa pun ia kuasai. Kemampuannya tersebut, membuat Alumni Diklatsar V ini, selalu terpilih menjadi moderator sekaligus asisten pawang ular yang mengisi materi ‘Penanggulanan Hewan Berbisa’, di setiap Diklatsar Malimpa.
Yang mengagumkan dari sahabat kami ini adalah, ia juga tak pelit ilmu. Bahkan, ia sengaja belajar berbagai ilmu pencinta alam, semata-mata agar dapat lebih banyak lagi, membagikan ilmunya kepada semua sahabatnya di Malimpa.
Disamping itu, Genter juga mempunyai kemampuan di bidang seni lukis. Namun, karena kesibukannya di Malimpa, kemampuannya tersebut, belum berkembang maksimal. Sehingga, sampat saat ini, satu-satunya orang di dunia yang menjadi kolektior lukisannya , masih dirinya sendiri.
Sedangkan ketiga sahabat muda kami tadi, terpilih menjadi anggota “Ekspedisi Jalur 13”. Karena memang ketiganya sangat mumpuni dibidang ini. Khabib umpamanya. Alumni Diklatsar VIII. Sedari awal masuk Malimpa sudah menjukan bakat bagusnya di panjat tebing. Sehingga dalam waktu cepat – dibawah bimbingan Ipunk dan Genter – Khabib telah menunjukan gaya panjat yang mempesona. Begitu halnya Zulfahmi dan Ardian. Kemampuannya di bidang ini, juga tak dapat dianggap remeh. Mereka juga telah mempunyai gaya panjat khasnya masing-masing
Disamping pertimbangan teknis diatas, pertimbangan lainnya adalah, ketiganya juga mempunyai kemampuan bersifat keilmuan yang dibutuhkan untuk mensuksesan kegiatan ini. Khabib dan Ardian yang dari Georafi umpamanya. Mereka berdua menguasai pengetahuan bebatuan tebing. Pandai membaca gejala-gejala alam. Mengerti pergerakan angin dan -- tentu saja -- mengetahui, kapan hujan deras akan turun.
Ilmu Zulfahmi di bidang akuntansi, yang ia kuasai dengan baik, juga sangat membantu. Dengan kelebihannya tersebut, diharapkan tim ekspedisi ini, dapat membuat laporan akhir yang sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku di dunia internasional.
Akhirnya, seperti yang diduga. Ekspedisi yang memakai teknis panjat artificial – gaya memanjat dari bawah dan tanpa pengaman dari atas – berhasil dengan baik Bahkan lebih cepat dua hari dari target yang digariskan. Jalur ini kemudian dinamakan “Jalur 13”.
Keberhasilan Malimpa membuat jalur baru, mendapat apresiasi yang baik dari UMS. Sabtu, 23 Mei 1992. PR. III UMS. Yang mewakili UMS. Mengunjungi anggota “Ekspedisi Jalur 13”, di lokasi ekspedisi Jurang Jumo. Dalam kesempatan ini -- Ipunk mewakili rekannya -- menunjukan kemampuannya dengan memanjat habis Jalur 13, dalam waktu cepat dengan gaya yang mempesona. PR II UMS. Terkagum-kagum dibuatnya.
Keberhasilan membuat jalur baru setinggi 57 m. Membuat prestasi Malimpa kian lengkap. Kala itu, jagat raya pencinta alam sedang kerasukan hebat panjat tebing dan dinding. Sehingga, lomba panjat tebing muncul dimana-mana, penontonnya pun ramai. Tebing-tebing di segala pelosok daerah laku dipanjati -- tentu saja -- oleh pemanjatnya. Namun, dari semua demam itu, ekspedisi pembuatan jalur barulah yang menempati kasta tertingginya. Sebab, tak sembarang pihak bisa melakukannya.
Ekspedisi semacam ini, membutuhkan perhitungan cermat. Waktu yang tepat. Peralatan yang baik. Fisik yang prima. Serta kemampuan panjat level tinggi. Faktor inilah yang membuat ekspedisi pembuatan ajlur baru, sangat jarang digelar. Masih sebatas kelompok-kelompok besar dan terkenal saja.
Keberhasilan Malimpa menggelar “Ekspedisi Jalur 13”, yang dilaksanakan pada 20-24 Mei 1992 tersebut. Juga bukanlah proses sekali jadi. Melainkan telah melalui proses panjang yang dimulai dari, “Celah bukit berhantu” di era Achmad Sumedi. Pengalaman tersebut kemudian diperlebar oleh dinding “Kanan kiri oke”, di jaman Toni. Lantas, ditinggikan oleh dinding panjat berbahan barang “temuan”, di masa kepemimpinan Puput.
Itupun masih ditambah latihan di gunung Botak Wonogiri. Telogo Delingo Klaten. Tebing di pantai Selatan Jogja. Serta jembatan Bengawan Solo dan bergelantungan di pohon-pohon besar di komplek pekuburan Makam Haji.
Jadi, Jalur 13 adalah puncak dari semua proses panjang tersebut.

Ready For Use
Agak berbeda dengan kegiatan lain di dunia pencinta alam, yang banyak penggemarnya. Aktivitas SAR justru sedikit penggiatnya. Bahkan, tak semua kelompok pencinta alam yang memilik divisi khusus SAR. Di Malimpa, SAR sudah lama ada. Namun karena situasi yang belum memungkinkan. Aktivitas SAR di Malimpa, nyaris tak terdengar.
SAR Malimpa, baru secara serius dikembangkan mulai tiga tahun lalu. Bahkan, mulai dimasukan menjadi materi inti di pendidikan dasar Malimpa (Diklatsar). Kendati demikian, SAR Malimpa belum begitu pesat kemajuannya. Hal ini bukan disebabkan kemampuan anggota Malimpa yang terbatas di bidang SAR. Melainkan, disaat itu yang lebih mendesak untuk dikembangkan, adalah kegiatan panjat tebing, mendaki gunung dan ekpedisi. Serta aktivitas lain yang bersifat kelmuan dan sosial kemasyarakatan. Sehingga SAR Malimpa baru sebatas konsumsi intern. Malimpa hanya sesekali dapat terlibat pada operasi SAR gabungan yang dikordinir pihak lain. Jadi SAR Malimpa belum sampai kepada tahap “go public”.
Namun, seiring dengan membaiknya kegiatan panjat tebing dan mendaki gunung. Serta keberhasilan Malimpa mengelar ekspedisi dan aktifitas ilmiah lainnya. Membuat SAR Malimpa mulai ada kesempatan untuk ditingkatkan. Kini, SAR Malimpa diproyeksikan “go public”.
Langkah awal proyek tersebut adalah, dengan menambah pengalaman dan keilmuan anggota Malimpa di bidang SAR. Langkah awal ini, ditandai dengan mengirim Toni dan Marto Dayat, mengikuti pelatihan SAR di SAR UNS. Lalu, komunikasi dengan pihak-pihak yang berkompeten di bidang SAR. Juga mulai diintensifkan. Operasi SAR gabungan juga kian sering diikuti. Yang salah satunya adalah, operasi SAR gabungan di Lawu, pada malam Syuro 1992.
Kemudian usai operasi tersebut, beberapa angota Malimpa ke Selo Boyolali untuk mengetahui sejauh mana suasana terkini aktifitas SAR di Gunung Merapi. Dari survey tersebut, didapat keterangan bahwa, belum ada kelompok tertentu yang stand by SAR. di Merapi, baik di musim pendakian maupun diluar musim itu.
Hasil survey tadi kemudian di kaji di Malimpa. Lalu diputuskan bahwa, Malimpa akan stand by di Merapi. Pertimbangan lainnya, Merapi adalah gunung yang terkenal dan ramai pendakinya. Baik pendaki lokal maupuin wisatawan mancanegera yang kesama. Artinya, probabilitas kecelakaan pasti besar.
Disamping itu, sebagian besar anggota Malimpa, mengenal baik karakter dan medan Merapi. Peralatan Panjat tebing Malimpa juga meyakinkan. Perangkat komunikasi Malimpa, juga tidak ada masaalah. Yang belum ada hanyalah tenda. Namun, akan disiati dengan memakai tenda putih blacu bertiang tongkat pramuka.
Akhirnya, pada 17 Agustus 1992. Malimpa untuk pertama kali, menggelar operasi siaga SAR “seorang diri’ di Merapi.
Pada opersi perdana itu, Malimpa mengeluarkan semua perangkat dan personil – putra-putri -- terbaiknya. Rombongan berangkat dari kampus, 16Agustus, pagi. Lalu menjadikan rumah sdr. Sony warga di desa Samiran -- pertigaan ringin -- sebagai Base Camp.
Anggota rombongan tadi, kemudian dipecah menjadi empat kelompok, yang terdiri dari, kelompok pertama, berlokasi di base camp. Disamping bertugas sebagai pusat komando operasi, regu ini bertanggung jawab pula terhadap segala administrasi perijinan dan kegiatan pasca evakuasi korban.
Regu kedua, lokasi siaganya di Watu Gajah. Yang menjadi tanggung jawab siaganya, mulai dari sekitar Watu Gajah, hingga ke rute pendakian dekat Pasar Bubrah. Sedangkan regu yang ketiga berlokasi di pasar Bubrah. Tanggung jawab siaganya meliputi pasar Bubrah dan sekitarnya. Sedangkan regu empat, berlokasi di puncak Merapi Watu Garuda. Areal tanggungjawanya meliputi kawasan puncak dan ruas jalur dibawahnya.
Ketiga regu tersebut, berangkat menuju lokasi siaganya, sekitar pk 14.00. Kemudian nge-camp di masing-masing titik siaga. Serta bermalam disana. Sedangkan regu empat, mereka memang diperbolehkan tidak bermalam di puncak, melainkan bergabung di Pasar Bubrah. Hal itu disebabkan, angin di puncak terlalu kencang. Tenda mereka pasti melayang dibuatnya. Lagipula, tenda yang roboh ditiup angin, jelas kurang meyakinkan untuk sebuah tim SAR. Ini aksi perdana. Kesan pertama harus mempesona. Diniharinya mereka ke puncak.
Siaga SAR ini kemudian, berakhir pada 17 Agustus Sore. Secara keseluruhan operasi ini berjalan baik. Serta tidak mengalami hambatan berarti. Dengan keberhasilan ini, berarti SAR. Malimpa telah masuk kategori Ready For Use. Artinya SAR Malimpa, telah go public. Malimpa, telah siap membantu masyarakat yang mengalami bencana di gunung, di tebing maupun bencana alam. Kapanpun diperlukan SAR Malimpa, siap. Malimpa juga sudah siap mengkordinir operasi SAR gabungan.
Keberanian Malimpa siaga SAR di Merapi, mendapat dukungan yang baik dari Muspika Kec. Selo. Serta dinas Pariwisata Boyolali. Pihak yang berkompeten dibidang SAR, juga memberikan dukungan yang positif. Beberapa kelompok pencinta alam, juga memberikan semangat yang simpatik.
Untuk meningkatkan “mutu” SAR-nya, Malimpa makin intensif meningkatkan kemampuan anggotanya di bidang SAR. Seiring dengan itu pula, nama SAR Malimpa, mulai dkenal masyarakat. Ini pula yang membuat SAR Malimpa sering diundang dalam opersi gabungan bersakala besar di Surakarta. Diantaranya adalah, operasi SAR di Bengawan Solo. Operasi SAR di Merbabu dan lain sebagainya.
SAR Malimpa dan SAR UNS. Juga pernah bergabung, mengevakusi jenazah seorang korban kecelakaan lalu lintas di sungai depan pasar Keco. Malimpa pernah pula, mengadakan pencarian dan evakuasi jenazah seorang bocah di sungai dekat posko Malimpa. Bocah ini terpeleset lalu tenggelam di dalam Lumpur sungai tersebut.
Pada saat bencana banjir melanda wilayah Jateng. SAR Malimpa mengajak Menwa UMS. mengadakan operasi SAR di daerah Demak dan sekitarnya. Operasi gabungan ini, mengatasanamakan SAR UMS.
Disamping itu, untuk lebih mengenal wilayah Merapi, serta mengenal masyarakat Selo, Malimpa kemudian mengikuti sebuah acara besar di lapangan Kec. Selo. Di acara yang dilaksanakan unsur Muspika Selo tersebut. Malimpa membuka stand pakain bekas layak pakai. Pakaian tersebut dijual dengan harga murah. Uang hasil penjualan dimasukan ke kas Malimpa. Barang dagangan didapat dari sumbangan mahasiswa UMS, pondok Assalam dan beberapa pihak lain.
Anggota Malimpa yang menyumbangkan pakaiannya, hanya sedikit. Karena sebagian besar ditolak mentah-mentah oleh Genter dan Aziz Kendo, yang menjadi manajer stand Malimpa. Sebab, pakaian yang disumbangkannya itu -- walaupun pakaian andalan yang setiap hari dipakainya kuliah – ternyata, “Sudah bekas tidak layak pakai pula”.
Kendati demikain, kegiatan lain tetap dijalankan seperti biasa. Bahkan, Puput berhasil masuk 10 besar, pada kompetisi panjat dinding di UMM Jatim. Sedangkan Toni, Slamet dan Ipunk, yang mewakili Malimpa pada Lomba Orientering, yang diselengarakan Teknik Sipil UNS Kentingan. Berhasil keluar sebagai Juara Pavorit dan Juara Trayek Khusus.
Operasi Siaga SAR di Merapi, kemudian dilanjutkan pada malam pergantian tahun baru 1992/93. Untuk meluaskan komunikasi dengan masyarakat setempat, maka pada operasi kali ini, Malimpa menjadikan rumah Kepala Desa Lencoh sebagai base camp.
Operasi ini ternyata tidak berlangsung optimal. Karena regu kecil yang dipimpin Arifin Tompel -- naik malam hari -- mengalami kecelakaan fatal. Teguh Kendo Psikologi, terjatuh ke Jurang di pinggir rute pendakian. Teguh Kendo tak sadarkan diri. Sahabat yang kami sayangi itu, pingsan seorang diri di dasar tebing sedalam lebih dari 50 meter. Sangat menyedihkan melihatnya.
Setelah dievakuasi, Teguh Kendo langsung -- menggunakan pick up sayur -- dilarikaan ke Yarsis Solo. Sepanjang jalan, Teguh Kendo yang telah siuman, mengerang-ngerang kesakitan. Sahabat kami ini, pastilah mengalami sakit yang luar biasa.
Pihak kampus ternyata menolak pembiayaan anggota Malimpa tersebut. Namun, disinilah persahabatan luar biasa di Malimpa betul-betul kentara. Anggota Malimpa langsung menggalang dana. Sebagian bertanggung jawab mengurus Teguh Kendo di Yarsis. Sebagian menghubungi keluarganya. Aku dan beberapa yang lain, ditugaskan mengurus asuransi di Boyolali. Uang yang terkumpul, ternyata sangat besar jumlahnya. Serta, cukup meringankan biaya di Yarsis. Menurut dokter yang merawatnya, Teguh butuh waktu lama untuk memulihkan tangannya yang patah.
Dari peristiwa tadi, Malimpa mendapat pelajaran yang banyak. Pengalaman memang guru yang terbaik.Guru tanpa nama itu pula, yang membuat SAR Malimpa bertambah baik. Sehingga SAR Malimpa, kian “Ready for use”.

Mimpi Yang Tertunda
Jika gagasan ke Cartentz Pyramid tadi, berjalan mulus. Paling cepat dua tahun ke depan bendera Malimpa, akan berkibar di puncak tertinggi Indonesia dan Pasifik tersebut. Tak peduli siapa yang bertugas mengibarkannya. Yang penting, siapkan diri dari sekarang.
Mulai saat itu, semua informasi tentang Cartentz Pyramid -- walaupun sulit karena jarang -- mulai dikumpulkan. Semua kegiatan Malimpa terutama panjat tebing, mendaki gunung, SAR, juga logistik, diarahkan ke kualitas kesulitan tingkat tinggi.
Rektor UMS. Drs. Djazman, yang akan mengakhiri masa jabatannya, sangat mendukung gagasan ini. Dalam pertemuan resmi dua pihak Malimpa – Rektor. Di Puslitbang UMS. Drs. Djazman, mengatakan, bahwa jika nanti tak lagi menjabat Rektor UMS Beliau tetap komitmen membantu mewujudkan gagasan Malimpa. Beliau juga berjanji, akan menghubungi pejabat-pejabat tinggi di Jakarta. Pemda Irian Jaya. Serta relasinya di PT. Freepot.
Lalu -- rencananya -- jika semua sudah dianggap memungkinkan. Gagasan ke Cartenzt Pyramid, akan dituangkan ke bentuk proposal. Kemudian, Malimpa akan menghubungi pendaki kelas Internasional paling terkenal di Indonesia. Norman Edwin. Meminta kesediannya, menjadi bagian dari tim Malimpa. Partisipasinya, bisa berujud penasehat teknis atau bahkan mungkin pelatihnya. Tergantung Norman Edwin. Yang pasti, pengalaman dan reputasinya, jelas sangat membantu.
Namun, Malimpa boleh berencana ke Cartentz. Tetapi, Yang Maha Menciptakan Cartentz Pyramid, juga punya rencana. Dalam suatu ekspedisi pendakian Mapala UI ke puncak Acconcagua di belahan Amerika Selatan. Norman Edwin gugur. Pencinta alam se Indonedia berkabung. Untuk menghormati jasa luar biasa Norman Edwin, mengembangkan kegiatan pencinta alam di Indonesia, UMS kemudian mengutus tiga anggota Malimpa -- Toni, Ipunk dan aku sendiri -- ke Jakarta. Menyampaikan duka ke Mapala UI.
Sepeninggal Norman Edwin yang belum sempat dihubungi Malimpa, tidak lantas gagasan tadi luntur. Disela kunjungan tersebut, beberapa anggota Mapala UI yang pernah ke Cartentz, menyatakan siap membantu Malimpa. Pada saat di Jakarta pula, Malimpa bertemu dengan artis terkenal yang aktivis pencinta alam Ully Sigar Rusady. Hasil perbincangan akrab yang berlangsung di rumah sahabat sesame pencinta alam tersebut, kemudian dimuat di majalah Pabelan. Setelah edisi 10 th XVII 1993. Artikelnya berjudul “ Tugas Pencinta Alam Lebih Berat Dari Jendral”.
Waktu terus berjalan. Jabatan Rektor UMS berganti ke Prof. Drs. Malik Fadjar, MSc. Angin di UMS berubah. Rektor baru UMS. Menerapkan budaya baru di UMS. Budaya akademik. Serta menjadilan UMS. Sebagai, “Wacana Keilmuan dan Keislaman”. Dengan kebijakan baru itu, semua aktivitas civitas akademika UMS. Diarahkan mendukung wacan baru tersebut.
Kebijakan baru di UMS. Haruslah diakui, sebagai perubahan besar yang kemudian membuat UMS maju dan besar. Namun disisi lain, UKM yang berada di wilayah Minat & Bakat -- Malimpa salah satunya -- “kurang mendapat porsi”. Sehingga gagasan Cartentz Pyramid, perlahan-lahan memudar. Hingga akhirnya nyaris terlupakan.
Namun, mungkin saja, kelak, bendera Malimpa benar-benar berkibar disana. Tak peduli siapa pun, anggota Malimpa yang bertugas mengibarkannya. Siapatahu?
Yang penting Malimpa telah berani bercita-cita tinggi. Setinggi puncak Cartentz Pyramid.











Bagian Enam
Cartentz. Pyramid

Operasi Eidelweiss
Kepemimpinan Malimpa masa bhakti 1993-1994. Dipercayakan pada Teguh Ponco Apriyanto. Ia didampingi Dwa Agus TMM. Yang berada di posisi Sekretaris Umum. Ponco, memang pilihan tepat, karena Ponco yang masuk Malimpa melalui Diklatsar VI, sejak awal bergabung ke Malimpa, beberepa pilar penting di Malimpa sudah memprediksikan, kelak, Ponco akan menjadi figur besar yang akan menopang kesuksesan Malimpa.
Prediski itu ternyata tepat. Usai mengikuti Diklatsar gaya baru pertama Malimpa tersebut. Ia langsung aktif dan mulai sering terpilih mewakili Malimpa mengikuti kejuaraan-kejuaraan besar.
Semua kegiatan Malimpa, ia ikuti secara serius. Bahkan, disetiap kegiatan buka bersama, Ponco selalu datang lebih awal dan pulang paling akhir, sambil membawa bungkusan besar di tangannya. Dengan segala keseriusannya itu, dalam waktu singkat, Ponco telah menguasai beberapa ilmu penting di Malimpa, seperti SAR, panjat tebing dan mendaki gunung.
Namun, bagaimanapun juga,. Ponco tetaplah anggota Malimpa tulen. Artinya, ia bisa tidur di sembarang tempat. Tak pernah menolak makanan apapun. Tidak terlalu sering bolos kuliah. Baik hati. Serta tentu saja sangat lucu. Ponco juga termasuk salah satu tokoh utama penggerak aksi, “sikat dahulu tertawa kemudian”. Aksi ini merupakan, “aliran sesat baru”, yang mulai berkembang pesat di Malimpa.
Sedangkan Dwi Agus TMM -- alias Klinthuk-- sejak awal masuk, juga telah diperkirakan, bakal menjadi salah satu figur berpengaruh di Malimpa. Mahasiswa FKIP yang wajahnya mengingatkan anggota Malimpa pada senior Malimpa, Dwi Mardani ini, tidak saja menguasa panjat tebing, SAR dan kegiatan gunung. Aktifitas di Malimpa yang bersifat keilmuan, selalu pula ia ikuti secara serius.
Pada periode ini, kegiatan diskusi ilmiah dan aktivitas keagamaan, kian dikembangkan. Materi Diklatsar ditambah Photografi. Siaga SAR di Merapi, juga diperluas. Sehingga SAR Malimpa, juga menangani gerakan kebersihan dan operasi Eidelweiss. Pengembangan ini, dimaksudkan sebagai tanggung jawab Malimpa terhadap kebersihan di gunung Merapi. Dengan operasi Eidelweiss, yang berbentuk penggeledahan barang bawaan pendaki yang pulang dari puncak Merapi, Malimpa berharap, hutan Eidelweiss di Merapi yang tinggal sedikit, dapat kembali membaik. Dalam operasi yang dilakukan secara simpatik ini, Malimpa juga memberikan penyuluhan kepada pendaki, tentang pentingnya bersama-sama menjaga kelestraian vegetasi di Merapi.
Malimpa dibawah Ponco, juga berhasil memenangi beberapa lomba. Diantaranya adalah memenangi Lomba Napak Tilas yang diselenggarakan Unisri Surakarta. Tim Putri Malimpa yang beranggotakan Bara, Herni, Nana dan Unyil. Keluar sebagai juara pertama Kelompok Putri. Sedangkan Tim Putra Malimpa, yang antara lain beranggotakan, Tobang dan Aziz Kendo, juga juara Pertama Putra.
Merayakan hari jadi Malimpa ke 14. Malimpa kali ini, juga mengadakan tiga acara sekaligus. Salah satunya adalah, “One Day Workshop Mendaki Cartentz Pyramid”.

Rinjani, Agung dan Gede
Diawal periode ini, Malimpa mengirim tim pendaki ke gunung Rinjani (3726 m) di P.Lombok dan gunung Agung (3142 m) di Bali. Tim pendaki Malimpa ini, beranggotakan Toni, Nana, Budi Bodrex, serta aku sendiri. Tim ini mengawali pendakiannya di gunung Rinjani.
Setelah menempuh perjalalan sekian hari dari Solo, tim ini akhirnya tiba di desa Sembalun Kab. Lombok Timur. Nusa Tenggara Barat (NTB), siang hari. Usai istirahat sejenak, pendakian langsung dimulai hingga mencapai Jembatan Tujuh di rute Sembalun. Tim bermalam disini. Besoknya dilanjutkan hingga mencapai Pelawangan.
Pelawangan merupakan pertigaan kecil. Jika melalui jalur yang kami lalui tadi, disebut jalau Sembalun. Karena jalur tersebut, berawal dari desa Sembalun Bumbung dan desa Sembalun Lawang. Sementara, jika mengambil jalur kanan dari pertigaan ini , disebut melalui jalur Senaru. Karena jalur ini, berawal di desa Senaru. Segara anakan yeng terkenal itu, terdapar di tengah rute Senaru. Kami kemudian bermalam di Pelawangan. Dinihari besok, perjalanan dilanjutkan hingga mencapai puncak Rinjani.
Pemandangan di rute puncak, sangat indah. Segara Anakan begitu mempesona. Panoramanya persis seperti yang sering kami lihat di kalender dan kartu pos. Dari sini, samar-samar terlihat pula, lautan yang mengitari pulau Lombok. Kota Mataram juga terlihat sangat bagus.
Di trayek terakhir ini, tidak ada pohon besar. Vegetasinya, hanyalah perdu pendek khas tumbuhan dataran tinggi. Angin disini cukup kencang. Udaranya sangat dingin, sehingga sinar cerah matahari pagi, tak begitu membantu menghangatkan badan kami yang mengigil. Kadar oksigen disini tipis. Tantangan terbesar di gunung Runjani -- disamping jalurnya yang jauh -- memang adalah kadar okseigennya yang tipis ini. Kadar oksegen inilah, yang membuat kami berempat, gampang lelah.
Menjelang beberapa meter menjelang puncak Rinjani, formasi kami atur. Nana Berada di depan, yang lain mengikutinya. Tujuan tim ini, disamping mengibarkan bendera Malimpa di puncak Rinjani, juga bermaksud menjadikan Nana sebagai anggota putri Malimpa pertama, yang menginjakan kakinya di puncak Rinjani. Kedua tujuan itu akhirnya, berhasil sempurna.
Areal puncak Rinjani tak begitu luas. Kadar oksigennya pun semakin tipis. Angin juga sangat kencang. Puncak Rinjani memang bukan tempat yang nyaman buat berlama-lama. Tak berapa lama kemudian, kami mulai turun.
Sesampainya di Pelawangan,, kami mengambil jalur Senaru. Sore harinya tiba di Segara Anakan. Pemandangan disini betul-betuk mempesona. Udarannya sangat sejuk. Pengunjung yang ke tempat ini sangat ramai. Baik oleh wisarawan dalam negeri maupun turis asing. Di Segara Anakan yang merupakan danau alam, banyak terlihat orang mancing. Konon ikannya besar-besar. Kami bermalam disini. Besok perjalan akan dilanjutkan ke Senaru.
Trayek Segara Anakan – Senaru, ternyata sangat jauh. Namun, kami cukup terhibur dengan beberapa danau kecil dan pemandangannya yang elok. Di kiri kanan rute pendakian juga banyak pohon besar. Sore hari, kami tiba Di Senaru. Kami bermalam disini. Besoknya perjalanan dilanjukan ke Kota Mataram. Tetapi, bukan lagi dengan berjalan kaki. Melainkan naik angkutam umum. Lalu, langsung ke Besakih di Bali.
Tim Malimpa tiba di Besakih Kabupaten Karang Asem Bali, pagi harinya. Menurut kepercayaan di Bali, setiap pendaki yang akan ke gunung Agung dilarang membawa makanan-minuman yang mengandung unsur hewan. Jika dilanggar, pendakinya, kata tetua adat yang kami temui, “ Akan tersesat atau bertemu Leak”
Tersesat di Agung bukanlah pilihan kami. Lagipula, untuk apa jauh-jauh kesini, kalau hanya minta ditemui Leak. Akhirnya, beberapa bungkus mie instant rasa sapi, cream susu dan beberapa potong tipis keju, kami titipkan di Polsek Bekasih, yang letaknya tak jauh dari Pura Besakih. Usai melapor ke polisi yang berjaga, kami mulai mendaki.
Perjalan ke Agung dimulai dari memasuki pura Besakih. Satu-satunya jalan ke Agung, memang di tengah pura cantik ini. Suasana di tempat ibadah umat Hindu ini, kesan mistisnya sangat terasa. Wangi dupa sangat tercium. Bunga aneka rupa ada dimana-mana. Patung dewa-dewa penting dalam peribadan agama hindu, cukup banyak yang menghiai objek terkenal ini. Bali memang eksotis.
Perjalanan ke Puncak Agung berjalan lancar. Kami nyaris tak menemui hambatan berarti. Hanya sebentar di puncak, kemudian kami turun. Tengah malam, barulah kami tiba kembali di Pura Besakih.
Dengan keberhsilan pendakian di dua gunung tadii. Bukan hanya membuat bendera Malimpa telah berkibar di puncak tertinggi di P Lombok Rinjani. Serta di gunung tertinggi di Bali Agung. Tetapi, juga menempatkan Nana sebagai anggota Malimpa pertama, yang telah mendaki delapan gunung berbeda, yaitu Rinjani. Agung. Semeru. Lawu. Sumbing. Sindoro, Merbabu dan Merapi.
Masih di periode ini -- usai workshop -- Malimpa juga mengirim tim pendaki ke gunung Gede (1950 m). Di Jawa Barat. Keberangakatan tim kali ini, disamping memenuhi undangan Mapala UI yang mengadakan Jambore Malimpa UI. Juga dimaksudkan sebagai titik awal Malimpa mendaki gunung-gunung di wilayah Jawa Barat.
Tim Malimpa yang beraanggotakan Ponco. Bara Sabarati. Yus dan Tobang. Tidak hanya berhasil mengibarkan bendera Malimpa di gunung paling popular di Jawa Barat tersebut. Melainkan juga membuat nama Malimpa mulai dikenal di wilayah tersebut Hubungan baik dengan Mapala UI. Juga tambah mesra.
Dengan keberhasilan Malimpa, menggelar proyek pendakian ke wilayah barat dan ke wilayah timur, diharapkan pada masa akan datang, anggota Malimpa akan mendaki gunung yang lebih tinggi dan lebih jauh lagi.

Cartentz Pyramid
Puncak gunung di Indonesia yang melebihi Rinjani, hanyalah puncak-puncak yang berada di pegunungan Jaya Wijaya Irian Jaya. Puncak di pegunungan tersebut, adalah puncak Trikora (4750 m). Puncak Mandala (4700 m). Kemudian puncak Yamin (4595. Terakhir puncak Cartentz Pyramid (5030 m).
Dari sekian puncak tersebut, Cartentz Pyramid lah yang paling menarik. Hal ini antara lain disebabkan, medan Cartentz lebih sulit. Udaranya lebih ekstrim. Letak lerengnya paling jauh. Pemandangannya lebih bagus. Ijinnya pun sulit dan berbelit-belit.
Disamping itu, puncak bersalju tersebut, masuk dalam “Seven Summit’. Atau puncak tertinggi di tujuh benua. Pengkategorian ini, berdasarkan teori lempeng benua. Jadi, dengan berhasil mendaki puncak Cartentz, berarti telah mendaki salah satu puncak berkelas dunia.
Dengan semua kesulitan Cartentz, baru sedikit pendaki yang berhasil menggapai puncaknya. Itupun baru terbatas pada klub besar, yang beranggotakan pendaki kelas gunung es. Serta didukung perlengkapan gunung salju dan anggaran besar. Kondisi inilah yang kemudian, membuat informasi tentang Cartentz, sangat langka. Padahal pendaki yang bercita-cita kesana, sangat banyak.
Malimpa juga pernah bercita-cita kesana. Namun, karena kurangnya informasi dan situasi yang belum memungkinkan, cita-cita tersebut belum dapat diwujudkan. Kini, impian tersebut dihidupkan kembali. Namun, Malimpa tak ingin sukses sendiri. Malimpa juga ingin kelompok lain, dapat pula mewujudkan impian mereka. Sehingga kegiatan mendaki gunung di Indonesia, tambah berkualitas.
Itulah pikiran dasar yang melatarbelakangi Malimpa menyelenggarakan “One Day Workshop Mendaki Cartentz Pyramid”. Yang dilaksanakan 25 Mei 1993. Melalui acara ini, segala informasi tentang Cartentz, yang selama ini masih berselimut kabut. dapat tersibak.
Yang menjadi narasumber acara ini, adalah Sekber. Pencinta Alam Yogyakarta dan Mapala UI. Di event ini Mapala UI. Mengutus tim muda yang pernah ke Cartentz. Tiga dari empat anggota Mapala UI tersebut adalah, John, Rully dan Zaenal.
Workshop yang dimoderatori oleh Intan ini, ternyata menarik begitu banyak peserta. Auditorium penuh oleh pendaki gunung yang berasal dari wilayah Jabar. Jateng. Jatim. DIY. Bahkan, ada yang dari Bali. Mereka rela berdesak-desakan.
Semua peserta mengaku puas dengan acara ini. Karena informasi tentang prosedur ijin ke Cartentz dapat diketahi. Peserta juga jadi tahu, berbagai peralatan yang harus dibawa, materi latihan ke gunung es dan teknik memanjat gunung salju. Pada kesempatan ini, Mapala UI juga menerangkan, bagaimana cara mencari sponsor yang bersedia membiayai pendakiannya ke Cartenz. Semua informasi tentang Cartentz, benar-benar dibongkar habis.
Malimpa selaku penyelenggara, secara langsung juga mendapat informasi dan pengetahuan berharga. Malimpa juga berharap, usai workshop ini, impian ke Cartentz dapat terlaksana. Kalaupun belum, setidaknya Malimpa telah berbuat sesuatu, membantu rekan sesame pencinta alam mewujudkan impian mereka. Ini juga mulia khan ?

Mustokoweni
Dalam rangka HUT RI ke 48, -- disamping siaga SAR di Merapi -- Malimpa menggelar, “Ekspedisi Mustokoweni”. Ekspedisi ini berbentuk pendakian Tim Putri Malimpa ke gunung Semeru. Tim ini beranggotakan Nana, Yus Ratmawati Psikologi Nur Aryati Unyil FKIP. Lalu, Nanik dan Tyas Ekonomi. Kenudian Wiwid Wal Asry alias “wal andong from Teknik”.
Yang menjadi dasar “Ekspedisi Mustokoweni” ini adalah, Malimpa belum pernah menggelar ekspedisi khusus putri. Selama ini, baru tim putra dan campuran. Dengan ekspedisi ini, diharapkan kemampuan anggota putri Malimpa menguasai manajemen ekspedisi dapat meningkat.
Tim putri ini, sedari awal dibentuk, sudah dilatih mandiri. Semua rencana dan persiapan yang mereka perlukan, diatur mereka sendiri. Anggota Malimpa yang lain hanya membantu. Itupun dalam batas-batas tertentu. Karena semakin sedikit dibantu, justru makin baik untuk keberhasilan tim ini.
Jalur yang dipilih Srikandi Malimpa ini, adalah jalur Ranu Pane. Kemudian bermalam di Ranu Kumbolo. Besoknya, bermalam di daerah Archapada. Lantas, dari titik ini, diniharinya pendakian dilanjutkan hingga mencapai Mahameru.
Tanpa kesulitan berarti, enam Srikandi kesayangan Malimpa tersebut, pada 17 Agustus 1993. Berhasil mengibarkan bendera Malimpa di puncak gunung tertinggi di Jawa.
Kemandirian, serta keramahan dan keberanian. putri terbaik Malimpa itu, ternyata manarik perhatian pendaki yang berada di Mahameru. Sehingga seorang anggota tim “Ekspedisi Mustokoweni”, dipilih menjadi dirijen lagu Indonesia Raya, di perayaan hari Kemerdekaan RI. Di puncak Semeru. Kehormatan tersebut, sangat membangakan. Karena tak sembarang orang, dapat terpilih menjadi petugas di acara yang dihadiri oleh, pendaki gunung dari kelompok pencinta alam terkenal dari segala daerah di Indonesia. Serta diliput beberapa stasiun TV. Swasta dan pemerintah.
Keberhasilan “Ekspedisi Mustokoweni”, menjadi catatan penting prestasi Malimpa. Karena, baru kali pertama ini, anggota putri Malimpa berhasil menggelar ekspedisinya sendiri. Keberhasilan ini, tentu menjadi inspirasi bagi anggota putri Malimpa lainnya, agar suatu saat, dapat menggelar ekspedisi yang melebihi prestasi penting ini.













Bagian Ketujuh
Next Generation

Workshop
Karena tuntutan studi dan kesibukanku sebagai Ketua I Senat Mahasiswa UMS (Sekarang BEM). Serta posisiku, sebagai Pemred Majalah Balans Ekonomi. Waktuku mulai terbatas. Sehingga, pada kepemimpinan SL. Arifin Tompel dan Sapto Aziz Kendo. Aku sudah tak banyak terlibat dalam segala aktivitas Malimpa. Atau menyaksikan aneka prestasi yang digapai Malimpa. Dalam dua priode ini, aku hanya dapat melihat jelas Workshop dan acara tumpengan dalam rangka 15 tahun Malimpa. Serta anggota muda Malimpa yang sangat kubanggakan. Mereka merupakan generasi penerus Malimpa. Next generation.
“One Day Workshop Seni dan Teknik Pembuatan Jalur”. Diselenggarakan di Aditorium UMS. Kegiatan yang diselenggarakan pada Mei 1994 ini. Menghadirikan John dkk dari Mapala UI Jakarta sebagai narasumber. Serta seorang pemanjat tebing paling terkenal di Indonesia. Mamay S. Salim.
Workshop ini, diikuti oleh pemanjat-pemanjat dari berbagai klub pencinta alam dari local Surakarta. DIY. Jatim dan Jateng. Workshop ini, termasuk kegiatan dalam ruang (indoor) Malimpa yang paling sukses setelah Workshop tahun lalu.
Aku dan sahabat yang lain -- apapun alasannya -- pasti akan meninggalkan UMS. Namun, sepeninggal kami, Malimpa pasti akan berkembang lebih mengagumkan. Karena Malimpa, telah berisi generasi penerus yang sangat potensial. Bahkan, sangat lucu. Sehingga acara tumpengan yang bagi sementara pihak merupakan sesuatu yang cenderung khidmat. Di tangan next generation ini, justru menjadi “lebih hidup” dan “lebih berasa”. Cerita tumpengan dibawah ini, yang merupakan salah satu mata acara perayaan 15 Tahun Malimpa, walaupun tak persis benar. Namun cukup mewakili.

Meriahnya Tumpengan
Sesuai dengan protokol baku di acara tumpengan Malimpa, maka kali ini, yang putra tetap diwajibkan memakai kemeja batik. Sedangkan yang putri wajib berjilbab atau berkerudung. Seperti pada tahun lalu pula, semenjak sore, angota Malimpa mulai berdatangan ke posko Malimpa.
Tujuan mereka datang lebih awal, bukan untuk memamerkan baju batik bagus hasil pinjamannya. Ataupun buat mempertontonkan kerudung cantik, yang selalu melorot karena pemakainya belum terbiasa mengenakan kerudung Kedatangan mereka, lebih disebabkan untuk, “curi-curi pandang”. Untuk mengukur seberapa besar peluang mereka dapat “berpartsipasi”, dalam acara heboh malam ini. Karena yang menjadi daya tarik mereka, bukan tumpengnya.. Melainkan moment usai tumpeng dipotong
Seperti umumnya acara tumpengan, usai tumpeng dipotong, maka panitia mempersilahkan tamu undangan mencicipi hidangan ala kadarnya. Kalau di acara orang lain -- ingat, bukan di acara Malimpa -- sejurus kemudian, akan terlihat, tamu undangan berbaris rapi dan sabar antri menunggu giliran menyendok nasi. Namun. dalam acara tumpengan Malimpa, jangan pernah bercita-cita dapat melihat barisan rapi jali seperti itu. Cita-cita itu mustahil terwujud. Semustahil bercita-cita dapat melihat kodok lancar berbahasa inggris.
Usai tumpeng kuning, tinggi, langsing, lancip Malimpa ditebas puncaknya. Serta usai moderator menyampaikan, “Undangan yang terhormat dipersilahkan mencicipi hidangan ala adarnya yang telah disiapkan panitia”. Maka, pada saat itu pula, anggota Malimpa secara massal maju tak gentar. Menyerbu ke meja tempat hidangan ditaruh.
Lalu sepuluh detik kemudian, mereka sudah mulai saling dorong. Saling tarik. Rebutan piring. Rebutan centong sayur. Tarik-tarikan plastik kerupuk.Balapan ngambil sambal. Adu cepat meraup kuah soto. Bahkan, baku rebut air pitih. Sangat seru.
Setengah menit kemudian, di lantai griya mahasiswa, terlihat panci oseng-oseng tergolek secara mengenaskan. Cangkir plastik bergelatakan tak berdaya. Di bawah meja, tampak pula beberapa kancing baju dan tali jam tangan. Tadi, sempat terlihat telur sambal menggelinding. Tetapi, sekarang entah mampir ke piring siapa, telur yang telah berbalut debu tersebut.
Bagi orang lain, anggota Malimpa pastilah dianggap norak. Aneh. Atau apalah. Tetapi, sebenarnya anggapan itu keliru. Anggota Malimpa, tahu aturan main acara tumpengan. Bahkan, tak sedikit diantaranya yang hapal kaidah-kaidah internasional santap malam di hotel bintang. Tetapi, di malam tumpengan, norma-norma itu, sengaja dicampakan, dilupakan Bahkan, sengaja ditendang jauh-jauh.
Karena dengan histeria semacam itulah, anggota Malimpa dapat tertawa ssepuas-puasnya. Bebas . Merdeka, Bahagia sebahagia-bahagianya. Keseharian di Malimpa memang sudah heboh. Namun di acara tumpengan, atmosfir hebohnya berbeda. Tak ada duanya. Inilah sebenarnya rahasia terdalam, mengapa tumpengan harus selalu ada disetiap acara hari jadi Malimpa.
Lagipula, anggota Malimpa bukanlah pengidap gizi buruk tingkat kering kerontang, atau penderita busung lapar level Senin-Kamis. Bahkan, beberapa anggota Malimpa -- Ba’diah, Linda, Woni, Winarsih, Jujuk -- tadi sudah makan di warung belakang kampus. Namun, tentu saja bukan supaya berasa kenyang, melainkan agar memiliki energi tiada tara dalam “mensukseskan” acara supeheboh ini.
Energi besar memang diperlukan. Karena dari aksi survey dengan methode “curi-curi pandang lihat makanan” tadi, mereka tahu, makanan banyak. Namun, yang datang lebih banyak lagi. Sehingga jika ingin “berperan aktif” dalam acara ini, mereka harus mengeluarkan kemampuan terbaiknya dalam hal merebut makanan teman sendiri. Kapan perlu sambil berteriak-teriak segala. Tak peduli, walaupun teriakannya mirip lolongan dukun tolak balak di Amazone sana.
Biasanya Ardian, Maysaroh, Mehong, Lakon Sucipto, sering unggul di acara fenomenal itu. Khusus malam ini, tampaknya semua anggota Malimpa adalah pemenangnya.

Next Generation
Generasi penerus Malimpa, memang penih potensi. Misalnya Yus, Bara dan Heni. Ketiga anggota Malimpa asal Psikologi -- biasanya kami sebut trio Psikologi – tersebut, mempunyai potensi mengagumkan. Mereka menguasai berbagai ilmu penting di semua jurusan kegiatan Malimpa. Ketiga alumni Diklatsar IX itu,. Juga berkali-kali mewakili Malimpa dalam kejuaraan besar.
Potensi Tyon Ekonomi juga luar biasa. Fisiknya hebat. Kemampuannya di gunung, luar biasa. Kemahirannya di panjat tebing, juga tak bisa dipandang sebelah mata. Tyon, juga merupakan salah satu pendekar tangguh Malimpa di dunia pernapaktilasan. Mahasiswa asli Solo ini, juga pernah mengikuti pelatihan SAR di SAR UNS. Sehingga kemampuan SAR-nya berada di level tinggi. Bahkan, dalam beberap operasi SAR. Tyon menjadi personil yang paling diandalkan.
Yang menarik dari Tyon adalah, sikap lucu dan tingkah konyolnya yang juga mengagumkan. Untung saja, ia sering memakai kacamata, karena benda itulah yang membuat anggota Malimpa yakin, bahwa tyon masih cukup waras.
Anggota Malimpa dari Teknik, seperti Sofyan. Emon. Walang. Prapto. Bolot. Maysaroh. Alif Sentun. Bagong. Juga mempunyai potensi yang menjanjikan di semua jurusan kegiatan Malimpa. Mereka juga lucu dan terkadang juga iseng dan konyol. Kemampuan mereka, kian waktu juga meningkat. Namun dari segi kekonyolan, hanya Emon yang meningkat tinggi. Sehingga, antara dirinya masih waras atau setengah waras, hanya dia sendiri yang dapat menyimpulkanya.
Generasi potensial lainnya lainnya seperti Eka, Winarsih dan masih banyak lagi, juga mempunyak potensi yang membangakan. Di bawah kepempinan Arifin Tompel dan Aziz Kendo, pastilah mereka akan menjadi pribadi hebat.
Karena Aziz Kendo sendiri, adalah salah satu figur Malimpa yang jago di semua disiplin ilmu Malimpa. Kendo juga pernah mengikuti pelatihan SAR di SAR UNS. Kendo juga merupakan salah satu pendekar tanpa tanding di dunia pernapaktilasan.
Tompel juga merupakan pribadi menyenangkan. Ia juga menguasai perhitungan rumit IMP dan SAR. Trampil di tebing dan termasuk salah satu jagoan Malimpa di gunung. Alumni Diklatsar VIII ini, juga selalu mengikuti berbagai aktifitas keilmuan di Malimpa.. Pengetahuannya di bidang photografi dan pengetahuan umum, juga patut diacungi jempol.
Mereka itulah pribadi hebat yang akan mengibarkan bendera Malimpa. Mereka, juga merupakan pribadi lucu yang akan meneruskan spirit persahabatan di Malimpa. Lalu, ditangan mereka pula, akan lahir generasi yang lebih hebat lagi. Terus begitu.
Sehingga, bendera Malimpa akan berkibar dengan perkasa di semua sudut kehidupan. Mereka tak pernah takut. Karena ketakutan di Malimpa, telah lama pergi. Sirna ditiup angin pagi puncak Sindoro.


Bagian kedelapan
Pungkas Cerita

Senangnya di Malimpa
Persahabatan hanya subur bila ada syarat dasar hidupnya, yang berupa ketulusan hati, jiwa besar dan pikiran terbuka yang jernih. Karena dengan adanya hal-hal mendasar itulah, segala perbedaan bukan menjadi tembok pemisah.. Melainkan sesuatu yang saling melengkapi.
Syarat dasar tersebut, selalu bermunculan di Malimpa di setiap generasinya. Sehingga, persahabatan tak pernah absen disana. Persahabatan ini kemudian menjadi detak jantung, yang selalu mengiringi setiap kiprah Malimpa. Sehingga, romantisme semacam itu lebih diingat anggota Malimpa, daripada seberapa banyak yang telah mereka lakukan buat Malimpa. Bila ditanya soal ini, anggota Malimpa, justru banyak yang lupa.
Saat Puput kutanya, soal beberapa kegiatan Malimpa, ia sedikit kebingungan menjawabnya. Namun, Puput dengan semangat menceritakan beberapa momen lucu yang mengiringi Expedisi Pantai Utara pertama Malimpa. Termasuk saat Ultahnya yang bertepatan dengan hari keenam ekspedisi tersebut. Perayaan ultahnya yang dipersembahkan sahabatnya tersebut, yang terjadi 20 tahun lalu, ternyata tetap terpatri di benaknya. Padahal, ultah tersebut tak istimewa, hanya menyantap beberapa hidangan sederhana dan beberapa bungkus mie instant. Serta minum teh tawar
Begitu halnya Lestari Bulek. Dia lupa detil lomba yang diikutinya. Padahal, dia anggota tim Malimpa yang menjadi juara. Dia justru kegirangan menceritakan hal-hal unik yang membuat anggota Malimpa tertawa gembira. Ia juga dengan semangat, mnceritakan saat Malimpa ada acara di Ngawi. Karena sesuatu hal, Lestari Bulek dan beberapa anggota putri Malimpa lainnya, dari lokasi acara, terpaksa menumpang kijang bak terbuka patroli Polisi yang kebetulan melintas. Mereka akan menyusul kami di dekat alun-alun kota Ngawi.
Masyarakat di sepanjang jalan terheran-heran, bahkan, tak sedikit diantaranya yang melempar senyum nakal. Bulek ddk, terkadang iseng pula melambaikan tangan, Mereka merasa heran dengan segala perhatian “baik” orang-orang. Lalu, setibanya di tujuan, barulah mereka tahu. Rupanya Bulek dkk, dikira masyarakat di pinggir jalan, sebagai korban garukan Polisi, yang menggelar operasi pemberantasan penyakit masyarakat.
Tak berbeda dengan Toni. Ketika kutanya beberapa operasi SAR Malimpa. Ia bingung menjawabnya. Padahal Toni merupakan pendekar SAR Malimpa. Namun, ketika kutanya kejadian lucu, ia banyak hapal. Bahkan, dengan girang ia menceritakan “perjuangan heroik” kami menelan sepiring kecil nasi jagung di kaki Sindoro. Padahal peristiwa ini terjadi 20 tahun lalu.
Yang parah adalah Slamet. Tatkala kutanya nama lengkap ekspedisi penelusuran Bengawan Solo 2. Slamet dengan gesit menjawab; “Ekspedisi Mangkunegaran 2”. Lalu, dengan lancar ia menceritakan perisitiwa lucu di Gondosuli. Jawaban Slamet tadi mencurigakan. Karena belum ada buku pelajaran sejarah, yang menerangkan bahwa Pangeran Samber Nyawa, menembaki kompeni sambil berakit-rakit ke hulu berenang-renang ketepian. Setelah dicek ke anggota lain, barulah aku tahu, jawaban dari pertanyaan tersebut, adalah pertanyaan itu sendiri. Karena nama lengkap kegiatannya adalah, “Ekspedisi Penelusuran Bengawan Solo 2”.
Ponco sama saja -- bahkan lebih parah. Ia dilanda kesulitan tinggi ketika menceritakan event-event besar Malimpa yang ia ikuti. Padahal Ponco adalah salah satu pilar penting Malimpa. Tetapi dengan tangkas, menceritakan event-event lucu yang membuat kami sama-sama tertawa kencang.
Puput, Lestari Bulek, Toni, Slamet dan Ponco, hanyalah sederet contoh kecil yang menampakan bahwa, anggota Malimpa tak peduli dengan segala jasanya di Malimpa. Anggota Malimpa tak begitu hirau dengan segala hal yang telah mereka perjuangkan di Malimpa. Bagi anggota Malimpa, pengorbanan, jasa, prestasi atau apalah judulnya, bukanlah tujuan. Semua itu, hanyalah resiko yang mesti mereka terima.
Mengikuti lomba, resikonya juara. Mendaki gunung, resikonya sampai di puncak lalu mengibarkan bendera Malimpa.disana. Resiko ekspedisi, tiba di titik terakhir masih dalam keadaan bugar dan tentu saja gembira. Ikut seminar, resikonya tambah ilmu.
Yang dicari anggota Malimpa, adalah kebersamaan yang membuat mereka bersahabat satu dengan lainnya. Karena dengan bersahabat, mereka akan nyaman, senang, bahagia. Hingga akhirnya membuat mereka kokoh, perkasa dan tak terkalahkan.
Persahabatan -- elok nian kata ini – pulalah, yang membuat anggota Malimpa saling berbagi, saling merasakan, saling rindukan dan saling dukung. Sehingga, anggota Malimpa dapat tertawa terbahak-bahak ditengah dinginnya cuaca Merbabu. Bercanda bahagia di tengah jebakan lumpur pantai utara. Kegirangan di tengah arus mematikan Bengawan Solo. Tersenyum bersama di kegelapan Jurang Jumo. Juga, sedih bersama ketika seorang sahabat, terjatuh di jurang Merapi.
Setiap anggota Malimpa, pastilah punya romantisme bahagia di Malimpa. Bahkan, tak sedikit yang mengaku bahwa, masa terindah dalam hidupnya, adalah ketika ia di Malimpa.
Bagi anggotanya, Malimpa memang dunia kecil menyenangkan, yang membuat mereka bahagia. Kebahagian itulah, yang sebenarnya membuat Malimpa sukses. Bukan kesuksesan yang membuat anggota Malimpa bahagia. Itulah rahasia yang membuat Malimpa tetap kokoh hingga sekarang.
Ach, senangnya di Malimpa.