MAPALA Jangan Kalah Sama Federasi

|| || ,,,,,,, || Leave a komentar
     Bila kita perhatikan beberapa kompetisi kegiatan alam bebas terutama cabang panjat tebing yang sebetulnya panjat dinding seperti kejurnas, lomba-lomba yang diadakan oleh mapala bahkan PON (Pekan Olahraga Nasional) didominasi oleh club-club panjat tebing ataupun delegasi dari daerah yang dinaungi oleh FPTI (Federasi Panjat Tebing Indonesia). Para pelaku (atlet) olah raga panjat tebing ini didominasi oleh orang-orang yang berlatar belakang club panjat tebing atau binaan dari FPTI. Lalu bagaimana prestasi para mahasiswa pecinta alam (mapala) dalam kompetisi panjat tebing akhir-akhir ini?

Pemasyarakat Panjat Tebing
     Kita tahu betul sebelumnya olah raga alam bebas ini begitu kental dengan identitas mapala, kalau ditanya apa itu mapala?mungkin sebagian masyarakat menjawab orang-orang yang kerjaanya mendaki gunung, naik tebing, arung jeram dan banyak kegiatan lagi. Memang kegiatan panjat tebing ini lebih dulu dipopulerkan oleh mapala setelah mapala mengadopsi dari kalangan militer melalaui berbagai cara antara lain kegiatan ekspedisi, mengadakan lomba-lomba dengan iming-iming hadiah yang bervariasi atau dengan cara-cara lain. Melalui metode-metode memasyarakatkan panjat tebing mungkin di harapkan pada saat itu bisa lebih mempublikasikan mapala di kalangan masyarakat, sehingga nantinya semakin banyak yang berminat masuk mapala.
     Tapi lambat laun dengan sering diadakanya kompetisi-kompetisi panjat dinding membuat olah raga ini bisa dinikmati oleh siapa saja bukan hanya bisa dilakukan oleh mapala semata, tapi masyarakat umum bisa melakukanya dengan akses yang sangat mudah. Bahkan kita bisa melihat di beberapa kompetisi panjat tebing dilombakan kategori umur yang diikuti oleh anak-anak yang mempunyai kemampuan dalam olah raga ini.
     Pemasyarakat panjat tebing memang bukan mapala semata, justru orang-orang yang terlibat dalam olah raga inilah entah itu dari mapala atau bukan, yang berperan besar mengantarkan panjat tebing menjadi sebuah olah raga yang familiar bagi masyarakat awam. Bagaimana mereka (para pelaku olahraga panjat tebing) menyampaikan pesan bahwa panjat tebing bukan cuma milik salah satu komunitas tertentu dan semua bisa mencobanya karena memang panjat tebing tidak terkultuskan pada satu komunitas tertentu.

Foto: solopos.com

Dibentuk Federasi
     Melihat animo masyarakat serta pemasyarakatan olah raga panjat tebing ini semakin hari semakin besar pengakuan dari pemerintah pun terwujud, hingga akhirnya masuk ke dalam salah satu cabang olah raga yang dilombakan secara nasional. Dengan adanya cabang olah raga panjat tebing di PON, kesempatan memasyarakatkan panjat tebing sebagai olah raga yang aman mengakibatkan semakin bermunculan berbagai club panjat tebing dengan main stream kompetisi. Hal ini membawa dampak positif dan negatif bagi mapala sendiri, secara positif kesan kegiatan serta keberadaan mapala semakin diterima di masyarakat, sedangkan sisi negatifnya olah raga ini terkesan hanya berorientasi kompetisi tanpa melihat nilai-nilai yang terkandung dalam olahraga ini dan semakin menipisnya sisi prestisius sebuah mapala.
     Untuk mengakomodir animo masyarakat serta menstrukturkan panjat tebing menjadi sebuah cabang olah raga, dibentuklah FPTI sebagai wadah pembinaan atlet panjat tebing di Indonesia. Dengan segala metode pelatihan dan pembinaan bermunculan atlit-atlit binaan FPTI yang bukan saja berasal dari mapala tapi masyarakat awam yang ingin meraih prestasi. Sehingga jangan kaget ketika melihat sebuah kompetisi panjat tebing, peserta lebih dominasi oleh atlit FPTI dan club panjat tebing.
Berawal dari mapala
     Bila kita runut kebelakang lagi, panjat tebing memang lebih identik dengan mapala, karena mapala mempunyai kelengkapan sarana dan prasana karena kegiatan mapala bersentuhan langsung dengan kegiatan semacam itu. Bahkan bisa dikatakan sebagaian besar jajaran pengurus aktif FPTI datang dari mapala dan atlet yang dimiliki oleh FPTI juga banyak yang berbasic mapala. Hanya saja akhir-akhir ini prestasi mapala di bidang kompetisi ini mulai pudar, kalah oleh keberadaan nama FPTI ataupun club panjat tebing yang berorientasi pada kompetisi.
     Memang prestasi-prestasi yang diraih oleh para atlet di bidang panjat tebing ini tidak bisa dilepaskan dari FPTI karena memang struktur FPTI yang dibuat sedemikian rupa sampai pengcab per kabupaten yang tidak memungkinkan membawa bendera mapala ditiap kompetisi tapi mengharuskan membawa nama daerah FPTI masing-masing. Tapi sebetulnya atlet yang di bina oleh FPTI ada juga yang berasal dari mapala ataupun binaan dari mapala, karena mapala mempunyai peralatan pendukung olah raga ini.

Perbedaan yang Mencolok
     Menjawab pertanyaan diatas ada beberapa sebab mengapa prestasi mapala dalam kompetisi panjat tebing semakin tenggelam. Pertama banyaknya kebutuhan organisasi internal mapala dan fokus mapala bukan hanya pada satu hal kompetisi panjat tebing. Hal ini menyebabkan keintensifan waktu berlatih dalam panjat tebing tidak sebanyak yang dilakukan oleh club panjat tebing ataupun FPTI yang memang terfokuskan pada prestasi kompetisi panjat tebing. Sehingga jangan kaget apabila melihat prestasi teman-teman mapala di ajang kompetisi panjat tebing semakin pudar. Kedua dukungan dana dan birokrasi yang terkadang dalam tubuh mapala yang terlalu kaku, sehingga berdampak pada intensitas berlatih dan berkompetisi dalam tiap kompetisi yang ada. Birokrasi juga bisa dalam hal nama instansi yang dibawa, semisal dalam pekan olah raga propinsi yang tidak memungkinkan membawa nama mapala tetapi membawa nama daerah. Dukungan dana juga menjadi kendala yang berarti, kita ketahui bersama dana yang dimiliki oleh organisasi mapala terkadang tidak memungkinkan untuk aktif mengikuti tiap kompetisi. Dari dua hal ini memang terlepas dari keinginan dan kesungguhan hati para pelaku panjat tebing dari mapala, tapi mungkin benar apabila ada asumsi ”kalau ingin menjadi bintang jangan masuk mapala” jadilah penggiat alam bebas dengan jaringan yang luas.