Ekspedisi Pantai Utara

|| || || Leave a komentar
Kesuksesan acara pamungkas Dasawarsa Malimpa, benar-benar membawa perubahan baru yang mencerahkan atmosfir di Malimpa. Anggota Malimpa tak takut lagi merencanakan kegiatan yang menantang bahaya. Memasuki libur semester ini, Malimpa berniat menggelar ekspedisi.
Rencana ini tentu masuk akal. Sebab, kebesaran sebuah perhimpunan pencinta alam, tidak hanya diukur dari deretan piala yang diraihnya. Melainkan, juga ditentukan oleh seberapa banyak mereka menggelar ekspedisi.
Malimpa belum tahu banyak tentang ekspedisi. Pengetahunnya baru sebatas teori yang belum dibuktikan keampuhannya. Langkah yang paling efisien mengerti ekspedisi, adalah dengan melakukan ekspedisi itu sendiri.
Sayangnya, jatah anggaran Malimpa tak banyak lagi. Kalaupun dipaksakan, juga tak bakal mencukupi. Mengharapkan uluran anggota Malimpa juga bukan langkah bijaksana. Anggota Malimpa – siapapun dia – sudah teramat sering mengorbankan rupiahnya buat mensukseskan acara Malimpa yang mereka ikuti. Jadi, kalaupun harus menggelar ekspedisi, haruslah yang bersifat efisien dan efektif. Malimpa sponsor utama dan peserta sponsor pendamping. Kondisi inilah yang kemudian, membuat Malimpa menggelar kegiatan berjudul, “Ekspedisi Penelusuran Pantai Utara Jawa Tengah”.
Hal lain yang menjadi pertimbangan Malimpa, menggelar ekspedisi yang berlangsung pada 8 - 6 Juli 1989 adalah, ekspedisi ini berbiaya kecil. Namun resiko celakanya cukup besar. Tidak memerlukan peralatan rumit. Serta tidak juga memerlukan latihan spesial. Pesertanyapun, tidak dituntut macam-macam. Bahkan, tidak harus lulus kualifikasi khusus dengan standar tertentu pula.
Syarat mengikuti ekspedisi ini, hanyalah berani malu. Siap tidak mandi-mandi. Tak bakal mengalami gangguan pencernaan, jika selama ekspedisi menyantap aneka makanan aneh, yang pasti dilarang ahli kesehatan mengkonsumsinya. Terakhir, tulang betis harus kuat dan dijamin tak akan retak, walaupun berjalan non stop selama sembilan hari Jepara -Rembang.
Ternyata, ekspedisi ini menarik minat banyak anggota Malimpa. Dari delapan “kursi” yang disediakan, pesertanya membengkak menjadi sembilan orang. Kesembilan orang itu adalah, Lumadiyana alias Genter, Eni Putri dan Lestari Bulek, ketiganya FKIP. Kemudian Toni dan Ansori.Kancil, keduanya Teknik. Lalu Puput Psikologi. Terakhir Falih NH, Sugiyarto dan aku sendiri, kami bertiga dari Ekonomi.
Sesuai agenda ekspedisi, Keberangkatan tim akan diantar oleh anggota Malimpa -- naik bis kampus -- hingga ke titik start di Pantai Kartini Jepara. Lantas, usai acara pelepasan yang dipimpin Medi, rombongan penggembira akan balik ke kampus. Sedangkan peserta ekpedisi bermalam di pantai ini, memanfaatkan stand milik tukang arum manis.
Esoknya, usai subuh tim ekspedisi mulai bergerak. Baru berhenti menjelang maghrib, dimanapun berada. Lantas, mendidirkan tenda putih blacu, tempat kami berlindung dari angin laut. Proses ini, terus berjalan mulai dari titik start, lalu ke Bugel. Lantas memasuki Benteng Portugis. Kemudian ke Tayu, dilanjutkan ke Juwana hingga memasuki garis akhir di pantai Kartini Rembang.
Dalam rentang sembilan hari tersebut, tim eskpedisi hanya berhenti agak lama di daerah Pati. Seorang peserta ulang tahun. Berhari jadi di tengah ekspedisi bukanlah sesuatu yang sering terjadi. Kami berdelapan sengaja beristirahat sedikit lebih lama, buat memberikan kebahagian kecil, kepada sahabat tersayang kami yang berultah, Puput.
Boleh dikata ekspedisi ini tak menemui hambatan mematikan. Kalaupun sempat berkali-kali terjebak lumpur pantai utara, atau nyaris dipatuk ular laut yang berbisa, justru itulah yang membuat ekspedisi ini bermakna.
Banyak hasil yang dapat dipetik dari ekspedisi ini. Dari sudut “ilmiah” umpamanya Ekspedisi ini tergolong sukses, karena telah memberi banyak pengetahuan tentang berbagai hal di pantai utara. Anggota tim ekspedisi ini, menjadi semakin hapal luar kepala bahwa, jika lubang ozon kian sobek, maka pihak pertama yang akan merana berkepanjangan, adalah masyarakat yang tinggal di pesisir. Tambak udangnya, rumah dan kebun kelapanya, akan terendam air laut yang pasang.
Dipandang dari segi kesehatan dan perkembangan mental, ekspedisi ini juga sangat membanggakan. Tak seorang pun dari sembilan peserta yang menderita muntaber. Terserang jamur kulit, atau mengalami patah kaki. Bahkan, yang lebih menggembirakan lagi, kesembilan peserta ini, sama-sama merasa lebih hitam legam dari sebelumnya. Serta sama-sama merasa lebih berani malu.