Bara PLTU Batubara

|| || ,,,,,,,,,, || Leave a komentar


Pernah dengar nama kota Batang sebelumnya?

Saya sering harus menjelaskan dengan lebih detil mengenai letak administratif kota kabupaten yang berumur 48 tahun tepat di tanggal ini, 8 April. Batang adalah kabupaten asal saya. “Sebelah timur Pekalongan, setelah Semarang dan Kendal,” atau “Pernah dengar Alas Roban?” Begitulah saya acap kali menjelaskan dimana letak Batang kepada mereka yang awam mengenai Batang Berkembang.

Batang selalu berada dibalik bayang-bayang Pekalongan karena Batang pernah menjadi bagian dari Pemerintahan Kabupaten Pekalongan semenjak 1 Januari 1936. Awalnya Batang adalah sebuah kabupaten yang berdiri sendiri sedari abad 17 hingga penghujung tahun 1935. Atas dasar itulah, muncul gagasan untuk menjadikan kembali Batang sebagai sebuah Kabupaten terlepas dari pemerintahan Kabupaten Pekalongan. Proses tersebut berjalan cukup alot hingga menghabiskan waktu hampir dua dasawarsa, terhitung dicetuskan pertama kali pada tahun 1946 dan berbuah hasil di tahun 1965.
Batang memang tidak setenar Pekalongan, saya akui. Namun saya tidak akan terus membanding-bandingkan antara Batang dan Pekalongan, ataupun membahas sisi historis Batang. Hanya saja, hampir tiga tahun belakangan ini, Batang tiba-tiba menjadi buah bibir mengalahkan pamor si kota Batik. Ada apa gerangan?

Ya betul. Pembangunan PLTU Batubara berkapasitas 2000 megawatt yang digadang-gadang akan menjadi PLTU terbesar se-Asia Tenggara di pesisir Ujungnegoro-Roban, Kabupaten Batang inilah penyebabnya. Tepatnya sejak tahun 2011 silam, pemerintah Indonesia mencanangkan sebuah program ambisius bertajuk Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3I). Pembangunan PLTU Batubara Jawa Tengah ini adalah salah satu kegiatan yang masuk dalam Koridor Ekonomi Jawa. Pemerintah Indonesia selanjutnya menetapkan konsorsium PT. Bhimasena Power Indonesia (BPI), yang terdiri dari satu perusahaan Indonesia Adaro Power dan dua perusahaan asal negeri matahari terbit J-Power dan Itochu Corporation, sebagai pemenang tender proyek tersebut. Dengan nilai proyek lebih dari Rp. 30 Triliun, konsorsium ini kemudian memilih Batang sebagai lokasi pembangunan PLTU Batubara Jawa Tengah. Batang, kota yang sebelumnya tak tenar meski cukup nyaman untuk ditinggali, hingga saya beri julukan ‘sleepy little town’ ini terusik sejak saat itu.

Tak pelak, kota kecil ini mulai banyak dibicarakan. Apalagi konsorsium PT. BPI dan pemerintah Kabupaten Batang, akhirnya memutuskan pesisir pantai Ujungnegoro, yang juga merupakan Kawasan Konservasi Laut Daerah, menjadi lokasi yang dipilih sebagai tempat pembangunan PLTU. Proyek raksasa tersebut, seperti yang ditulis oleh Greenpeace dalam website resminya, akan menyita lahan pertanian produktif, sawah beririgasi teknis, perkebunan melati dan sawah tadah hujan hingga mencapai luas 700 hektar. Mega proyek ini dipastikan akan memberikan imbas pada lima desa di sekitar lokasi pembangunan PLTU, yakni Desa Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso, dan Roban.

Pantai Ujung Negoro di KabupatenBatang merupakan kawasan konservasi laut daerah.






Keputusan untuk membangun PLTU Batubara di daerah tersebut jelas saja menuai protes dari warga Batang. Bagaimana tidak turut bergidik ngeri jika di daerahmu akan muncul cerobong-cerobong yang melepaskan merkuri sebanyak 226 kg setiap tahunnya? Padahal 0,907 gram merkuri dalam danau saja mampu menjadikan ikan di area seluas 100m² tak layak dimakan. Dengan kapasitas yang direncanakan, Greenpeace dalam briefing paper yang dikeluarkan bulan Februari lalu menyebutkan bahwa PLTU tersebut juga akan memproduksi sekitar 10,8 juta ton karbon ke atmosfer. Jumlah yang mencengangkan karena setara dengan emisi karbon seluruh negara Myanmar tahun 2009. Kedepan, Indonesia akan memimpin dunia dalam hal panas bumi, dengan 40% dari kapasitas cadangan. Bencana global yang menamakan diri perubahan iklim diam-diam sedang mengintai dan dengan perlahan akan menjadi warisan generasi masa yang akan datang.Tak terelakkan.

Awal bulan Maret lalu, bertepatan dengan kepulangan saya ke rumah, saya berkunjung ke calon lokasi pembangunan PLTU Batubara di kawasan Pantai Ujungnegoro tersebut sekalian untuk membeli terasi rebon favorit ibu saya. Sepintas memang tidak ada yang berbeda. Namun, begitu saya mendekati pantai, saya mulai menjumpai beberapa lahan yang sudah diberi papan menerangkan bahwa tanah tersebut telah berpindah kepemilikan di bawah PT. Bhimasena Power Indonesia. Di lain lokasi, masih di sepanjang perjalanan menuju pantai, saya pun menyaksikan puluhan pemuda tinggi tegap berseragam yang tak lain adalah satpam yang bertugas menjaga keamanan pembangunan proyek PLTU Batubara. Di salah satu titik selanjutnya, sedang dilakukan pembuatan jalan sebagai akses masuk menuju pembangunan PLTU Batubara tersebut.

Aktifitas PLTU Batubara Maret 2014 silam

Begitulah, layaknya cerita usang di negeri ini, suara rakyat tak kunjung mendapat tempat yang layak untuk didengarkan apalagi terkabulkan. Meski tak henti-hentinya protes dan penolakan disampaikan oleh warga dan sejumlah organisasi lingkungan dan hukum, toh pembangunan PLTU Batubara tetap saja berjalan. Perlakuan tak menyenangkan hingga penahanan pun diterima beberapa warga yang ingin memperjuangkan haknya sebagai manusia dan sebagai warga negara untuk hidup aman serta layak di tanah kelahiran mereka sendiri. Warga di sekitar lokasi pembangunan PLTU Batubara juga terancam kehilangan mata pencaharian mereka yang mayoritas menjadi nelayan dan petani.


                                               


Aktifitas nelayan di pantai Ujungnegoro


Bapak saya, biasanya sering memancing di sekitar perairan Roban. Saya biasa memakan ikan Sembilang atau Lele laut, tak jarang Kakap Merah pun didapatnya. Betapa kekayaan laut di Batang begitu melimpah. Kelak, saat PLTU Batubara itu sudah berdiri dengan megahnya, apakah mungkin saya masih menjumpai ikan yang sudah terkontaminasi limbah PLTU itu di piring saya? Lantas kemana nelayan di sekitar lokasi pembangunan PLTU musti menjala rejeki mereka? Saya jadi ingat sebuah kalimat yang pernah menjadi tagline suatu artikel di salah satu Koran nasional, bunyinya begini, "Jika membiarkan ada orang terusir dari rumahnya, daerahnya, bubarkan saja negara!"

 Selamat memperingati hari kelahiranmu Kabupaten Batang! Semoga suara rakyatmu akan mendapat tempat yang layak, entah kapan.

 @AchiDwiastari
 Klaten, April 2014