NIA 88.04.073
MPA
Ekonomi
Management UMS (1988)
BUKALAH
facebook, lalu kunjungilah grup-grup pecinta alam. Namun sebelum kesana,
buru-buru saya menyarankan, jangan terlalu berharap akan mendapat pencerahan
melalui diskusi seru tentang pasang surut dunia pecinta alam, masalah
pencemaran,illegal loging ataupun bedah wacana seputar membangun
karakter bangsa. Jika itu harapan anda, bersiaplah-siaplah gigit jari.
Pasalnya,
wacana semacam itu lumayan langka diangkat di grup pecinta alam. Kalaupun ada,
yang tertarik mengkritisinya hanya beberapa orang. Itupun cenderung dengan baku
komentar sekenanya, dan tentu saja tak ada konklusi berbobot untuk
ditindaklanjuti.
Pemandangan
yang mendominasi di grup pecinta alam – baik yang anggotanya mencapai ratusan
maupun diatas dua puluh ribu orang – adalah aneka rupa daganganonline.
Mulai sepatu gunung berbagai merk, tenda segala ukuran, t-shirt, baju, jaket,
ransel, kompas hinga ke asesoris seperti kalung logam dan gelang prusik
warna-warni.
Kemudian,
di grup-grup itu juga akan terlihat rupa-rupa tawaran traveling. Mulai dari
piknik ke gua-gua. wisata gunung, paket arung jeram, jalan-jalan ke hutan,
bermalam di tepi danau. Bahkan sampai ke wisata kuliner lengkap dengan daftar
menunya. Semua ditawarkan secara rinci sampai ke tingkatan potongan harganya.
Pendeknya,
jika datang ke grup-grup pecinta alam di dunia maya, pengunjung akan semakin
mendapat pembenaran bahwa pecinta alam memang tak lebih dari komunitas
wisatawan belaka, sekaligus pasar potensial untuk memasarkan aneka produk
industri pariwisata serta barang-barang yang membuat pecinta alam nyaman
jalan-jalan.
Kering
Makna
Sangat
mencemaskan mendapati realitas diatas. Karena aktivitas pecinta alam telah
bergeser menjadi wahana hiburan untuk mengisi liburan. Bukan sebagai sarana
pendidikan. Apalagi sebagai kawah yang menggodok manusia biasa menjadi yang
berkarakter kuat. Padahal Pecinta alam dilahirkan, sejatinya sebagai media
membangun karakter manusia.
Faktor
penting yang membuat kelompok pecinta alam begitu mudah meninggalkan
“fitrahnya” sebagai media pembelajaran, untuk kemudian migrasi menjadi kelompok
wistawan adalah karena kurang kuatnya menanankan akar pemahaman makna pecinta
alam itu sendiri.
Hampir
semua kelompok pecinta alam – baik yang berbasis di kampus maupun di luar —
menempatkan materi kepecintaalaman di daftar materi tambahan alias topik yang
kurang penting di Pendidikan Dasar-nya (Diksar). Kandungan materinya hanya
memuat riwayat hidup kelompoknya lalu ditambah dengan sejarah dan pengetahuan
kepecintaalaman yang bersifat umum. Itupun disampaikan sekenanya dan nyaris
tanpa pembahasan menyeluruh apalagi mendalam.
Sementara,
materi fisik semisal mendaki gunung, panjat tebing, arung jeram dan lain
sebagainya, di tempatkan di posisi materi pokok yang tentu saja disampaikan
secara utuh, durasi lebih lama serta dilengkapi simulasi di lapangan. Peserta
Diksar diwajibkan mengikuti materi ini secara utuh dan lengkap. Bahkan
agar fokus tak jarang peserta yang tak serius diganjar dengan push up,
scoth jump atau dihukum lari-lari mengitari area tempat
materi praktek.
Efek
jangka panjang dari skenario penempatan materi penting – tidak penting seperti
diatas, akan membuat setiap pecinta alam akan berpersepsi bahwa kegiatan fisik
– mendaki, manjat itu – merupakan roh kegiatan pecinta alam. Karenanya harus
diutamakan dan didominankan. Inilah yang kemudian membuat pecinta alam lebih termotivasi
menjadi pemanjat tebing yang lincah, penjelajah gua yang penuh waspada atau
malah menjadi pendaki konyol yang berani mati.
Persepsi
itu tentu keliru, dan karena berangkat dari keliru persepsi itu pula, pecinta
alam dalam melakukan aktivitas alam bebasnya terbatas pada tataran fisik
semata. Pecinta alam ke gunung hanya karena ingin mendaki. Berkompetisi
mendatangi puncak tertinggi. Demi kejayaan nama kelompoknya semata. Atau
menjadi turis penikmat alam seperti yang disinggung diatas.
Mereka
tidak menyertakan misi edukasi di setiap misinya ke gunung, ke tebing, ke gua
atau ke arus sungai liar. Akibatnya, bergiat di alam menjadi aktivitas yang
kering makna, tanpa pemahaman filosofis, serta terputus dari kontribusi
membangun karakter positif pelakunya. Inilah yang dikecam pendaki dunia kelas seven
summit asal kanada Pat Morrow.
“Mereka
tidak belajar apa - apa dari pendakiannya sendiri”, kecam Pat
kepadapendaki yang cuma menganggap naik gunung sebagai aktivitas fisik
belaka, jalan-jalan atau lebih parah lagi, sebagai upaya penaklukkan terhadap
alam.
Membangun
Karakter
Sesuai
dengan UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.
Kendati
Kode Etik Pecinta Alam lebih dulu lahir, tepatnya 1974, namun agenda yang
diusungnya berdekatan dengan UU Sistem Pendidikan Nasional tersebut, yaitu
melahirkan manusia berkarakter baik, religius serta kental dengan semangat
pengabdian dan spirit perdamaian. Agenda besar ini tidaklah mengada-ada,
karena, seperti yang disampaikan Ki Hajar Dewantara : pendidikan
dapat diperoleh melalui sekolah, keluarga dan pergerakan. Kegiatan
kepencintalaman merupakan wadah pendidikan berbentuk pergerakan tesebut.
Dengan
pergi ke alam, pecinta alam akan belajar berbagai hal. Belajar mengenal
diri sendiri, orang lain, lingkungan serta belajar mengenal tanah air sekaligus
memahami rakyatnya. Seperti yang disampaikan pendiri pecinta alam, Soe Hok
Gie, “Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia
mengenal objeknya. Dan, mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan
mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat
dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena
itulah kami naik gunung”.
Senada
dengan Soe Hok Gie. Pendaki kaliber internasional asal Itali Walter
Bonatti juga berpendapat alam merupakan tempat belajar yang baik. Aku
percaya kata Bonatti, bahwa, “Alam memiliki pelajaran dan dapat mengajar
kita. Karena itu aku percaya bahwa gunung beserta hukum-hukum yang ada
padanya merupakan sekolah yang baik untuk mengubah watak manusia”.
Dengan
demikian, mereka yang beraktivitas di alam bebas, akan berkarakter baiksehingga
memiliki kesadaran untuk mengabdi kepada Tuhan, bangsa dan tanah air.
Memelihara alam beserta isinya serta menggunakan sumber alam sesuai dengan
kebutuhannya. Menghormati tata kehidupan yang berlaku pada masyarakat
sekitarnya serta menghargai manusia dengan kerabatnya. Berusaha mempererat tali
persaudaraan antar pecinta alam sesuai asas pecinta alam. Berusaha saling
membantu serta saling menghargai pelaksanaan pengabdian terhadap Tuhan, Bangsa.
(Kode Etik Pecinta Alam)
Reorientasi
Makna Pecinta Alam
Sangat
tepat Presiden Jokowi menjadikan revolusi mental sebagai gerakan nasional.
Karena sudah sangat terang benderang bangsa ini mengalami degrdasai mental.
Sekarang ini, aksi kepedulian kepada sesama dan lingkungan hidup menjadi sebuah
tindakan yang dianggap aneh. Sikap saling menghargai dan semangati menjadi
sesuatu yang makin sukar ditemukan di kehidupan sehari-hari. Bahkan, bersikap
jujur dinilai sebagai perilaku menyimpang.
Revolusi
mental yang dicanangkan Presiden Jokowi artinya membangun manusianya dulu atau membangun
jiwanya. Dengan membangun manusianya maka disetiap jiwa anak bangsa akan
tersemai karakter positif yang ditandai dengan adanya sikap, perilaku dan budi
pekerti yang baik. Misalnya bersikap ksatria, religius, jujur, saling
menghormati, tidak cepat putus asa, sopan dan santun, peduli, rela berkorban,
serta berpikir ke depan untuk kemajuan bersama.
Terhadap
gerakan revolusi mental, sepantasnya pecinta alam mendukung secara proaktif.
Karena bukan saja lantaran Presiden Jokowi merupakan seorang pecinta alam,
melainkan pecinta alam sendiri mentalitasnya sudah tergerus sehingga
kegiatannya tak lagi mencerminkan aktivitas membangun karakter seperti yang
dulu digagas Soe Hok Gie.
Agar
dukungan nyata tersebut berjalan optimal, maka tindakan dasar yang harus
dilakukan pecinta alam adalah melakukan revolusi mentalnya sendiri dulu, dan
aksi ini dapat diawali dengan reorientasi atau pemahaman kembali makna pecinta
alam. Karena bagaimana akan berkontribusi memperbaiki mental bangsa jika
pecinta alam masih menjadi bagian dari krisis mental itu sendiri.
Reorientasi
dapat dimulai dengan pertama, menjadikan materi kepecintaalaman
sebagai menu utama Diksar. Kandungan materinya tidak parsial, namun harus
holistis, mulai dari gagasan awal yang menjadi embrio lahirnya pecinta
alam, visi dan misi ke depan, pergolakan pemikiran di kalangan pecinta alam
Indonesia, hingga ke dinamika organisasi tempat pecinta alam peserta Diksar
bergabung.
Pecinta
alam haruslah memahami sejarahnya secara komplit, baik dan benar, karena
seperti yang dikatakan Koentowijoyo, dengan belajar sejarah seseorang akan
senantiasa berdialog antara masa kini dan masa lampau sehingga bisa memperoleh
nilai-nilai penting yang berguna bagi kehidupannya. “Nilai-nilai itu dapat
berupa ide-ide maupun konsep kreatif sebagai sumber motivasi bagi pemecahan
masalah kini dan selanjutnya untuk merealisasikan harapan masa yang akan datang”,
begitu kata Koento.
Materi
Kepecintalaman hendaknya disampaikan secara dogmatis, ini dimaksudkan agar
“faham” pecinta alam benar-benar dipahami dan mengakar kuat di diri pecinta
alam, sehingga menjadi pola pikir dan “jiwa korsa” dalam
beraktivitas di alam bebas. Lalu adakan pendalaman materi yang diperkaya dengan
diskusi-diskusi serius yang berbobot. Tujuanya untuk merangsang lahirnya
gagasan-gagasan baru yang berangkat dari kerangka pikir pecinta alam yang
mungkin lebih kreatif dari gagasan yang pernah ada sebelumnya.
Kedua, di
setiap aktivitas fisik mutlak pula dimuati dengan edukasi yang mengarah kepada
pembangunan karakter. Kemudian di evaluasi setiap pendakian, pemanjatan dan
sebagainya tidak sebatas berkutat di seputaran masalah teknis kegiatan.
Melainkan dilebarkan hingga menyentuh kemampuan menggali makna-makna
tersembunyi dari rangkaian proses aktivitas fisik tadi.
Hali itu
dimaksudkan agar pecinta alam tidak saja mahir beraktivitas, melainkan juga
cerdik menyiasati situasi dan cerdas membidik persoalan dari sudut pandang yang
tidak umum. Mampu menguasai emosi dalam kondisi apapun. Terbiasa cepat
mengambil keputusan taktis di situasi ekstrem. Serta mengasah kemampuannya
membangun team work yang efektif dan efisien.
Ketiga, melihat
agenda besar dan tanggung jawab yang diemban pecinta alam, maka menjadi penting
pula dilakukan penambahan pengetahuan di luar ilmu baku kepecintaalaman.
Misalnya pengetahuan geografi, biologi, sosiologi, hukum lingkungan, metode
penelitian, leadership dan sebagainya termasuk pengetahuan
praktis menulis dan photografi.
Karena
jamak terjadi, jika sebuah persoalan – ekonomi misalnya - tak akan dapat
terpecahkan secara tuntas jika hanya menggunakan disiplin ilmu ekonomi saja.
Perlu pendekatan disiplin ilmu lainnya. Sama halnya dengan pecinta alam, agar
aktivitasnya berjalan tanpa kendala, berandil terhadap pembangunan bangsa,
memberikan sumbangan pemkiran kepada dunia keilmuan, serta mampu berpartisipasi
di wilayah praksis untuk memecahkan persoalan rakyat. Maka memperlajari
disiplin ilmu lain menjadi sebuah keharusan.
Pungkas
Wacana
Memang
belum ada sensus spesial untuk menghitung jumlah kelompok pecinta alam di
Indonesia. Namun, karena hampir semua Perguruan Tinggi di Indonesia memiliki
Unit Kegiatan Pecinta Alam, jumlah pecinta alam di Indonesia, pastilah besar.
Belum lagi jika ditambah dengan kelompok Pecinta alam yang bermarkas di luar
Kampus serta di tingkatan Sekolah Pertama dan Menengah. Jumlah pecinta alam di
Indonesia pastilah mencapai angka ribuan. Angka yang tidak kecil.
Diharapkan,
melalui reorientasi tadi, penguatan edukasi di setiap kegiatan fisik serta
pengayaan pengetahuan di luar basik kepecintaalaman, maka pecinta alam
secara mental tentunya akan memiliki jangkar karakter yang kuat. Tidak
menjadi kelompokbesar bermental kecil. Kelompok yang selalu melihat kelompok
lain sebagai pusat teladan, tanpa menyadari dan menghargai kelebihan-kelebihan
kelompoknya sendiri. Atau sebaliknya,kelompok yang mengembangkan mentalitas
jago kandang yang menolak belajar dari kelebihan kelompok lain.
Dengan
tiga upaya itu pula, aktivitas pecinta akan menjadi wadah ideal untuk
olah pikir, olah rasa, olah karsa, dan olah raga. Sehingga pecinta alam bukan
hanya mengembalikan jati dirinya ke gagasan awal leluhurnya, namun dalam
cakupan yang lebih luas pecinta alam secara otomatis telah pula memberikan
sumbangsih terbaiknya dalam berpartisipasi menyembuhkan penyakit mental bangsa
ini. Sebuah kontribusi yang sangat bermanfaat dalam mewujudkan cita-cita
kolektif bangsa ini untuk hidup lebih baik di masa depan.
Tentu
saja happy ending demikian akan terwujud jika pecinta alam
mengubah dirinya. Jika tidak, ceritanya tentu akan lain. Karena, seperti kata
Einsten, “Jangan mengharapkan hasil berbeda jika tetap menggunakan cara
lama”.(AS)
Penulis
adalah Pemerhati masalah Pecinta Alam.